Selasa, 22 September 2015

Sebelum September Berakhir

pahlawan? penjahat? martir?
boneka? dalang? korban?

Tidak semua, tapi mungkin hampir semua, para millenials dan bocah Generation X di Indonesia, punya kenangan tentang film 'wajib' itu pada saat peringatan G30S PKI. Saya katakan 'wajib', karena semua stasiun televisi pasti (dan harus) memutar film itu; dan di jaman pra-internet, pilihan kita tidaklah begitu banyak, bukan?

Setelah jatuhnya Orde Baru, kewajiban menayangkan--dan menonton--itu hilang. Untuk saya, sebenarnya ini sangat melegakan. Karena meskipun sudah berkali-kali saya lihat, tapi rasa teror, stress dan ketakutan, selalu membayang-bayangi saya tiap malam pemutaran film itu..

Tapi ada fenomena menarik yang saya perhatikan beberapa tahun terakhir ini.

Memang, terlepas dari akurasi sejarah atau fungsi propagandanya, saya juga setuju kalau dibilang film garapan Arifin C. Noer ini adalah salah satu film terbaik yang pernah dibuat dalam sejarah perfileman Indonesia. Mimpi buruk dan rasa mual yang saya alami setiap tahun adalah buktinya. Dan film Pengkhianatan G30S PKI ini, yang sudah tidak ditayangkan lagi, akhir-akhir ini jadi salah satu film yang dicari-cari..

Kalau alasannya untuk bahan referensi, atau bahan diskusi, saya tidak terlalu ambil pusing. Tapi ini, mereka ini, mencari-cari dengan penuh rasa excited, dengan level yang tampaknya sama seperti ketika mencari-cari buku langka atau kaset langka. Film Pengkhianatan ini seakan-akan sudah memasuki level klasik, cult, oldies..

Fenomena ini, terasa agak menyedihkan. Memang saya belum hidup saat masa itu, tapi ayah saya sudah. Ayah saya mengalami saat-saat itu di Jogja dan di Solo, sebagai mahasiswa dan sebagai warga keturunan. Saya sudah sering mendengar cerita beliau tentang saat tragedi itu terjadi, juga sebelum dan setelahnya. Dan sungguh, ekspresi Ayah saya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa kelamnya tahun-tahun itu. Bukan hanya tentang darah yang tertumpah, tapi juga kebencian yang ada--yang kemudian melahirkan kebencian lain.

Lalu, apakah mereka yang benar-benar penasaran, ataupun yang hanya 'ikut-ikutan' hunting film dan kisah tahun 1965 adalah orang-orang kurang ajar dan tidak hormat? 

Tidak, para pencari ini tidaklah salah. Meskipun saya tidak tahu, tapi saya mengerti perasaan mereka. Lagipula, saya juga tidak berhak untuk melabeli dan menghakimi. Saya sendiri, yang belajar sosial politik internasional, juga beberapa kali pernah merasakan hal yang sama. Dan mungkin, mungkin, excitement mereka itu tidaklah seluruhnya buruk; barangkali akan muncul percikan di kepala mereka, sebuah pertanyaan, sebuah ide bahkan.

Itulah logika saya yang berkata, dan seharusnya saya setujui.

Tapi..sungguh, perasaan ini, perasaan tidak nyaman ini masih tertinggal, ketika melihat wajah girang mereka.

Yah, jangan salahkan saya. Seperti sejarah, saya hanyalah versi lain, cerita lain dari mata lain.


[Tercetus setelah melihat gairah ekspresi tidak sabaran seseorang di perpustakaan untuk 
melihat arsip koran lama jaman 'itu'.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar