Jumat, 25 Maret 2016

Korban Iklan #1



Sudah bukan berita lagi kalau sinema dan serial televisi beberapa tahun terakhir ini super penuh dengan yang namanya adaptasi dari buku. Banyak faktor pemicunya, mungkin karena lebih gampang, dan yang jelas, resikonya lebih kecil--berhubung sudah punya fans yang jelas--dan ketika ekonomi dunia didera krisis berkali-kali begini, keuntungan pasti adalah hal yang sungguh menggiurkan.

Tapi ini bukan analisa tentang adaptasi versus buku aslinya, tema itu terlalu kompleks, terlalu banyak pendapat berbeda, terlalu ketinggalan jaman. Ini cerita soal gimana saya jadi korban iklan dari godaan-godaan dua dunia itu, dunia sinema dan dunia buku.

Kasus dari segi aktor dan sutradara misalnya, Guillermo del Toro dengan buku trilogi The Strain. Del Toro! otak di balik Pan's Labyrinth nulis novel horor! dan akan jadi serial televisi pula!! Bagaimana mungkin saya menghindari serangan godaan dobel macam ini? 

Lalu sekitar tahun lalu, karena janji adaptasi dengan aktor dan aktris kelas atas: saya maraton membaca buku All You Need Is Kill - Hiroshi Sakurazaka (karena Emily Blunt), Gone Girl - Gillian Flynn (karena Rosamund Pike), Under The Skin (Scarlett Johansson sebagai makhluk luar angkasa, yep.), Before I Go To Sleep - S.J Watson (gara-gara Mark Strong & Colin Firth), juga The Prone Gunman nya Jean Patrick Manchette (salahkan Sean Penn, Idris Elba,dan Javier Bardem..)

aih, dalam statistik manajemen dan public relations pasti saya termasuk 
dalam bagian konsumen gampangan bahan lawakan.. 

Bukan hanya karena saya yang nge-fans para sutradara, aktris, dan aktor ini, tapi juga godaan dalam diri saya, yang susah sekali dibendung: keinginan untuk pamer ketika adaptasinya muncul. Meski dalam kenyataan saya ga punya tempat pamer sih, tapi Ego saya senang sekali ketika bisa menyimpan semacam kebanggaan nakal ini.

Namun ada beberapa dari kasus ini tidak berjalan begitu mulus sebenarnya. Novel The Prone Gunman membuat saya kecewa, begitu juga dengan filmnya, meski sudah digawangi Sean Penn yang juga dibantu dengan Idris Elba dan Javier Bardem.

Dalam kasus The Strain juga (meskipun ini mungkin karena ekspektasi yang terlalu tinggi), saking patah hati terhadap buku pertamanya, saya tidak berminat menyelesaikan triloginya, juga tidak berminat menonton serialnya, sekalipun itu karya Guillermo del Toro..

Ketika hal semacam ini terjadi, apakah justru tujuan dari para om dan tante P.R itu justru malah berbalik arah? Tampaknya mereka tidak terlalu peduli dengan hasilnya, selama masih ada orang-orang penasaran dan snob seperti saya yang bakal membaca bukunya ketika dijanjikan adaptasi film/serial, tentu tidak masalah. Apalagi sekarang, ketika strategi ini semakin menggila, bahkan buku yang mungkin belum setahun umurnya, sudah ada godaan terbaru tentang rencana cast atau sutradaranya.

Aih, dunia..

Senin, 21 Maret 2016

The Secret Garden | Review


The Secret Garden

Frances Hodgson Burnett, 1911
E-book dari Project Gutenberg (bisa diambil di Feedbooks)
235 halaman

Seminggu kemarin saya 'dibombardir' dengan buku-buku yang hampir semuanya bikin capek kepala, mulai dari The Night Manager (John le Carré) yang akhirnya selesai, Lolita (Vladimir Nabokov) yang penuh imoralitas, dan High-Rise (J.G Ballard) yang bertema distopia dan juga penuh dengan imoralitas manusia.

Karena itu mungkin ketika memutuskan untuk baca buku berikutnya, alam bawah sadar saya bergerak ke The Secret Garden, karya klasik Frances Hodgson Burnett.

Setelah lama ditinggal begitu saja di tumpukan, akhirnya coba mulai baca lagi, mungkin tindakan bawah sadar ini juga gara-gara lihat adaptasi filmnya yang tahun 1993.

Awalnya saya kira bakal seperti A Little Princess--berhubung pengarangnya sama, dengan setting waktu dan tempat yang kurang lebih sama--soal anak perempuan bangsawan yang tiba-tiba jadi yatim piatu dan harus memulai hidup baru di tempat yang asing sama sekali.

Tapi Mary Lennox sama sekali berbeda dengan Sara Crewe di A Little Princess, bisa dibilang seperti antithesisnya malahan. Mary Lennox adalah anak manja, kasar, tidak pernah tersenyum, kurang ajar, dan sering merendahkan orang lain.

Ia dibesarkan dengan orangtua yang tidak pernah hadir dalam kehidupannya, seorang ayah yang sibuk dengan pekerjaannya, dan seorang ibu--yang tidak pernah menginginkan anak perempuan--sibuk berpesta dan bersenang-senang dengan para teman aristokratnya. Mary hidup di antara para pelayan, yang tidak peduli dengan perasaannya, selalu tunduk pada keinginannya, yang penting dia tidak ribut dan tidak mengganggu atasan mereka, memsahib, sang Nyonya besar.

Jadi meskipun sebenarnya tidak ada alasan sama sekali untuk menyukai tokoh ini, karakter Mary bukan sepenuhnya salahnya sendiri. Mary membenci orang-orang karena dia pikir orang-orang membenci dirinya, dan menganggap itu sebagai hal yang lumrah.

Namun, anak manja sekalipun tetaplah seorang anak..

Kehidupan Mary kemudian berubah ketika wabah kolera menyerang tempat tinggalnya di India, membunuh kedua orangtuanya, dan membuat para pelayan yang masih hidup lebih memilih untuk meninggalkan tempat itu. Ia kini harus tinggal di tempat asing, Inggris, dengan walinya (sang paman, Archibald Craven, yang tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan dirinya), di sebuah rumah besar yang dikelilingi moor.

Di tengah ketidakpedulian orang-orang sekitarnya, dan kekosongan yang ditawarkan rumah nan besar dan padang rumput yang hampa, Mary tidak punya pilihan lain selain mengembara di halaman taman yang mengelilingi properti pamannya itu.

Diawali oleh pertemuan dengan seekor burung robin, dan cerita-cerita tentang sebuah taman yang terkunci, Mary menemukan bahwa di tempat muram seperti itu, ada begitu banyak rahasia yang tersembunyi, dan ternyata untuk menyukai sesuatu tidaklah begitu susah.

Kisah dan misteri di dalam The Secret Garden dipaparkan dengan mulus, berbanding lurus juga dengan perubahan karakter utama Mary. Salah satu misteri yang terbuka adalah tentang Colin Craven, sepupu dari Mary yang keberadaannya disembunyikan semua orang.

Pertemuan dengan Colin adalah titik penting dalam perubahan karakter Mary. Colin yang bertemperamen buruk, memiliki masa lalu yang kelam, dan dijauhi semua orang, membuat Mary secara tidak langsung melihat karakter buruk yang dulu dimiliki dirinya.

Namun dengan semua perubahan itu, ketika tokoh Colin terungkap, cerita kemudian berpindah fokus. Memang, latar belakangnya masih berputar pada Secret Garden; tapi Mary Lennox sang tokoh utama kini hanya berperan sebagai tokoh pendukung, nyaris terlupakan.

Saya cukup mengerti tokoh Colin, sang raja cilik yang dibesarkan dengan pikiran bahwa ia tidak memiliki harapan sama sekali dan kematian penuh siksa akan segera mengunjungi dirinya. Saya mengerti, bahkan dengan segala kesombongan yang dimilikinya, tetapi Mary Lennox kini adalah sosok yang berbeda.

Dari awal kisah saya mengikuti perubahannya, dari bocah manja tukang marah menjadi anak yang penuh harapan. Rasanya tidak puas ketika seluruh cerita kemudian berputar kepada Colin yang berusaha keluar dari kamarnya untuk pertama kali, Colin yang masuk ke taman rahasia milik almarhum ibunya, Colin yang belajar berjalan, Colin yang kemudian bahagia dengan ayahnya, Colin yang kemudian disemangati oleh semua orang.

Memang, Mary juga bahagia dengan hal ini. Tapi saya tetap merasa tidak adil ketika buku berakhir begitu saja..

Sabtu, 12 Maret 2016

Lolita | Review


Lolita

Vladimir Nabokov, 1955
Anton Kurnia (penerjemah)
Serambi, September 2009
526 halaman
ISBN13 9789791112864

Buku ini bisa dibilang adalah monolog dari Humbert Humbert, berisi tentang pengakuannya kepada para juri (pengadilan?). H.H ditangkap karena pembunuhan terhadap Clare Quilty, dia kemudian menjelaskan hal ini. Semuanya berawal, berfokus, dan berakhir kepada satu gadis: Lolita

Pengakuan ini, tentang pembunuhan, tentang obsesi tidak pantasnya terhadap para 'peri asmara' (nymphets, kalau di naskah Inggrisnya)--anak perempuan yang berumur 9-14 tahun--juga berbagai kejahatan lainnya, nyaris tanpa rasa bersalah sedikit pun, tapi juga tanpa usaha untuk menjustifikasi perbuatannya.

Seram? tentu saja seram. Humbert Humbert menggambarkan dengan cukup detil rasa sayang dan cintanya terhadap Lolita, dan bagaimana sang gadis baru puber itu berhasil membuatnya tergila-gila. Berbagai skenario berputar di kepala H.H untuk mendapatkannya, mulai dari rencana pembunuhan, rencana 'percintaan'nya, hingga percobaan obat tidur untuk membius sang korban.

Pengakuan Humbert Humbert mengingatkan saya pada tokoh Hans Beckert dalam film M (1931, Fritz Lang, wajib ditonton). Keduanya sama-sama pedofil, namun dengan alasan dan tujuan yang berbeda, H.H mendekati para anak gadis karena kecintaannya, sementara Hans Beckert membunuh para anak gadis karena 'keharusan' yang ada dalam dirinya. Dalam film itu, ketika tokoh Hans Beckert akhirnya tertangkap, ia melanturkan sebuah monolog tak terlupakan--yang menurut saya adalah salah satu yang terbaik dalam sejarah film:

"I can’t help what I do! I can’t help it, I can’t…What do you know about it? Who are you anyway? [...] But I… I can’t help myself! I have no control over this, this evil thing inside of me, the fire, the voices, the torment! … It’s there all the time, driving me out to wander the streets, following me, silently, but I can feel it there. It’s me, pursuing myself! I want to escape, to escape from myself! But it’s impossible. I can’t escape, I have to obey it. [...]"

Sepanjang film itu, rasa jijik dan kebencian terhadap tokoh Hans Beckert begitu memuncak, namun hal ini sedikit goyah ketika ia begitu jujur berkata tentang ketidaksanggupannya untuk menahan dirinya sendiri.

Humbert yang sebegitu santainya melemparkan humor disana-sini justru membuat buku ini semakin seram. Ada sensasi rasa dingin yang nyaris tidak berhenti mengalir di tulang punggung saya ketika membaca buku ini. Bukan karena kejahatan H.H yang begitu 'sakit', tapi justru karena saya, tanpa sadar, bisa memahami, bahkan nyaris bersimpati, dengan si tokoh pedofil ini..



What do you know about it? Who are you anyway??

Selasa, 08 Maret 2016

Night Flight | Review

Night Flight



Elex Media Komputindo
ISBN13 9789792777710
 
 
Novel grafis ini diadaptasi dari buku Antoine de Saint-Exupéry, sang pengarang Le Petit Prince yang sudah terkenal akan cintanya kepada dunia aviasi. 
 
Pada awal abad ke-21, pesawat terbang adalah penemuan terbaru yang merubah pergerakan dunia ketika itu. Kecepatan dan waktu singkat menjadi premis berarti dalam dunia bisnis.
 
Night Flight bercerita tentang perusahaan pos udara yang beroperasi di daerah Amerika Selatan, dengan rute Patagonia, Chile, Argentina dan Paraguay. Untuk mengejar waktu (dan menambah keuntungan), penerbangan malam pun digerakkan. Di daerah dengan iklim dan cuaca yang susah ditebak, dan masa ketika radar belum dikenal dunia navigasi, bisa dibilang penerbangan malam adalah tantangan terberat seorang pilot pesawat. 
 
Kisah ini berfokus pada dua karakter, Riviere, sang pemilik usaha pos udara yang mementingkan perusahaannya, dan menganggap bahwa kerja keras semua pihak adalah hal terpenting dalam mencapai keberhasilan itu. Karakter kedua adalah Fabien, pilot yang terbang dari Patagonia, meskipun baru memulai kehidupan berkeluarga, namun tetap berusaha berdedikasi dengan pekerjaannya yang berbahaya. 
 
Ketika badai hujan dan angin kencang mengancam para pilot penerbangan malam, kedua karakter ini kemudian dipertemukan dalam pertanyaan besar akan apakah profesionalitas pekerjaan mereka cukup berharga untuk dibayar dengan nyawa.
 
Novel grafis ini merupakan bagian dari Manga de Dokuha, serial buku yang mengangkat karya-karya sastra dari penulis besar di dunia, dan memodifikasinya dalam bentuk komik. Karena tujuan dari serial ini adalah agar karya-karya tersebut bisa lebih gampang dipahami, maka tentu ada beberapa 'perubahan' yang harus dilakukan, salah satunya adalah pemotongan beberapa narasi, dialog, dan juga jalan cerita. 
 
Yah, ketika perubahan itu dilakukan kepada tulisan Antoine de Saint-Exupéry, saya jadi rada nyesek. Narasi Saint-Exupéry adalah salah satu yang terbaik, dan ketika dirubah menjadi gambar, rasanya tidak akan sama. 
 
Gaya manga yang diterapkan juga terasa janggal di beberapa bagian cerita ini. Seperti ekspresi wajah, dan desain karakter yang agak tidak pas dengan latar belakang tempat. Tapi terlepas dari itu, versi buku ini terhitung lumayan, terutama dalam menggambarkan tekanan batin sang bos, Riviere. Dan juga lumayan, karena paling tidak berhasil dalam membuat saya penasaran dan ingin mencari buku aslinya, atau buku terjemahannya kalau masih ada. 

Selasa, 01 Maret 2016

Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah | Review


Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah

Sapardi Djoko Damono, Juni 2013
200 halaman
ISBN13 9786027888401



Buku kumpulan cerita ini dibagi dua, bagian Pada Suatu Hari Nanti merupakan retelling SDD akan dongeng-dongeng yang sudah lama dikenal masyarakat, mulai dari Rama-Sita hingga si Kancil. Sedangkan Malam Wabah bisa dibilang adalah kebalikannya, bagian ini merupakan usaha SDD untuk menciptakan dongeng dan kisah tersendiri dari detil-detil kecil--terkadang nyaris terlupakan--yang ada di kehidupan 'biasa'.

Meskipun terlihat seperti dua sisi yang berbeda, ada satu persamaan yang terlihat, baik itu legenda lama atau baru, mereka tidak pernah benar-benar diberikan akhir. SDD seakan memberikan kebebasan kepada mereka untuk berkembang dalam setiap dimensi yang ada dalam pikiran masing-masing pembaca.

Karena itu, membaca buku ini terkadang terasa bukan seperti cerita pendek, tapi sajak-sajak panjang dari Pak Sapardi. :]