Sabtu, 26 Desember 2015

Seri Buku TEMPO: Antropologi Kuliner Nusantara | Review

Seri Buku TEMPO: Antropologi Kuliner Nusantara

TEMPO, 148 halaman
6 Juli 2015
ISBN13 9789799108913


Seperti halnya pendapat bahwa 'tidak ada orang yang benar-benar asli Indonesia', dalam hal kuliner juga bisa dibilang tidak ada masakan yang benar-benar asli Indonesia. Sederhana saja, negara ini terbentang begitu luas, dengan keanekaragaman yang nyaris tidak terhitung, tidak ada jenis masakan yang benar-benar bisa merangkum dan merengkuh semua itu. Sejarah padi di negara ini saja terhitung masih 'muda' jika dibandingkan dengan Asia Timur.

Buku ini kemudian berniat untuk membahas 'tingkah laku' kuliner Indonesia yang beragam ini, dan saya kutip: "...menelusuri 'peradaban rasa' itu dari tumpukan manuskrip kuno hingga ke jantung belantara di pulau-pulau yang jauh. ..."

Pada bagian awal, untuk memulai diskusi, dimulai dengan Ternate dan Tidore; salah satu daerah penting dalam hal sejarah rempah dunia. Dari segi penyajian (ahem), buku ini terbilang cukup menarik. Foto-fotonya tertata dengan baik, menarik mata, dan yang terpenting: sungguh menarik selera.

Tapi sayangnya, selera ini kemudian semakin menurun seiring bertambahnya jumlah halaman yang dibaca. ...

Layout-nya yang sederhana tapi berwarna memang tidak berubah, namun semakin lama saya semakin merasa buku ini lebih terasa seperti laporan travelling, dengan tips-tips wisata kulinernya. Memang tidak terlalu salah, tapi saya mengharapkan sedikit lebih banyak dari buku yang mempunyai subjudul "Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara"..

Ataukah buku ini hanya mencantumkan kata 'Antropologi' dalam judulnya sebatas untuk trik dagang saja?

Memang bukan tinjauan akademis berlibet-libet penuh daftar pustaka yang saya harapkan, tapi paling tidak ada tinjauan lah.. Banyak info singkat dalam buku ini yang diulang-ulang, bahkan dalam jarak kurang dari dua paragraf.

Kajian antropologis--yang secara umum berarti kaitan manusia dan kebudayaan yang dihasilkannya--juga nyaris nihil. Cerita historis, cerita lokal, lalu apa? Tidak ada usaha untuk mengaitkan info-info singkat ini.

Beberapa bagian juga terasa disimplifikasi, seperti Jawa = Solo = Jogja = keraton = manis. Padahal Solo dan Jogja, meskipun letak geografisnya sungguh begitu dekat, tetapi ada beberapa poin-poin kebudayaan yang menurut saya tidak boleh dilewatkan begitu saja. Misalnya pengaruh pendatang Cina dan Arab yang sangat besar di Solo. Tentu poin-poin ini sedikit banyak juga berpengaruh penting dalam kultur kuliner kedua kota.

Satu lagi titik lemah dalam buku ini: kalau berbicara tentang kuliner, tentunya bukan hanya tentang lidah dan perut saja. Tata cara penyajian sebuah masakan, atau tipe makanan dalam suatu kebudayaan pasti ada latar belakang historis dan sosialnya. Misalnya, apakah pisang rebus yang biasa dimakan sebagai snack di angkringan sama dengan pisang rebus yang dimakan sebagai pendamping makanan utama di daerah Sulawesi atau Maluku?

Sebagai tinjauan antropologi, buku ini sangat mengecewakan. Tetapi, sebagai penggugah pengetahuan, buku ini cukup lumayan. Paling tidak cerita-cerita menarik, deskripsi makanan yang begitu detil, dan juga tips wisata yang ada, mungkin bisa membangkitkan kesadaran orang bahwa kuliner Indonesia jauh, jauh, jauh, lebih banyak dari sekedar nasi dan gorengan saja.

Ke depannya, saya juga berharap bahwa para penulis bisa mengkaji kuliner Nusantara dengan jauh, jauh, jauh, jauuuh lebih baik, lebih besar, dan lebih luas. (Papua!!)

Kamis, 19 November 2015

Arsène Lupin, Gentleman-Thief | Review

Arsène Lupin, Gentleman-Thief
Maurice Leblanc

Judul asli: Arsène Lupin, Gentleman cambrioleur
279 halaman
Diterbitkan pertama kali tanggal 1 Januari 1907
ISBN 0143104861 (ISBN13: 9780143104865)

Arsène Lupin, sang pencuri baik hati, ahli menyamar, dan dikenal dengan julukan Pria Seribu Wajah. Tokoh fiksi ini diciptakan Maurice Leblanc pada tahun 1905. Sebelum berbentuk buku, Leblanc menulis cerita Lupin awalnya sebagai serial cerita pendek di majalah Prancis, Je sais tout.

Di tengah kejayaan Sherlock Holmes, tokoh Lupin yang cerdik, berani, pintar berkata-kata dan penuh kharisma, sering dikaitkan dan dibanding-bandingkan dengan tokoh detektif Inggris yang satu itu. Tidak heran jika hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, Maurice Leblanc kemudian menciptakan cerita Arsène Lupin vs. Sherlock Holmes (meski karena urusan hak cipta, nama tokoh Sherlock Holmes kemudian 'diganti' menjadi Herlock Sholmes)

Arsène Lupin, Gentleman-Thief adalah kumpulan cerita Lupin yang pertama kali dibukukan. Dalam buku ini ada delapan cerita pendek, dan salah satunya adalah kisah ketika Herlock Sholmes (a.k.a Sherlock Holmes) yang sudah berumur, pertama kali bertemu dengan sang pencuri muda Arsène Lupin. 

Maurice Leblanc tidak pernah terlalu deskriptif dalam menggambarkan tokoh pencuri Lupin. Pembaca seperti dibebaskan untuk mencari dan memutuskan sendiri karakter Arsène Lupin. Sang bangsawan penarik hati atau hanya lelaki gombal? Pencuri baik hati atau hanya bocah haus perhatian? 
Benar-benar tokoh dengan seribu wajah, seperti gelarnya.


Rabu, 21 Oktober 2015

Dosa dan Denda 1½ Dekade

errr..

Posting ini, tampaknya—harusnya—berfungsi sebagai pengingat di masa depan (semoga).

Jadi, ceritanya dimulai ketika 1½ dekade yang lalu, setelah sepuluh tahun saya menghabiskan waktu di tempat ajaib ini, saya harus pindah ke kota lain dan pulau lain. Buat orang yang pernah pindah rumah, apalagi pindah kota, pasti tahu betapa kacau dan semrawut prosesnya—bahkan untuk pelaku yang saat itu masih belum dewasa. Semua barang harus dibongkar, dipisahkan, diatur, dan ditata untuk dikemas. Melelahkan secara fisik dan emosional. Apalagi ketika berurusan dengan koleksi buku, yang dijamin otomatis akan membuat saya lebih berisik, jauh lebih berisik dari biasanya.

Singkat cerita dan waktu untuk bercerita, 1½ dekade sudah berlalu, dan tempat tinggal itu sudah lama masuk daftar nostalgia buat saya. Seperti pribadi ini, koleksi buku lama saya juga sudah berkali-kali bertumbuh, berkembang, berkurang dan bertambah. Tapi ada hal yang memalukan, sungguh sungguh memalukan. Meski sebelumnya sudah disebut saya adalah manusia yang berisik dan cerewet kalau sudah berurusan dengan buku, tapi tampaknya tingkat kecerewetan ini tidak sama dengan tingkat keterampilan dan ketertiban saya.

Dari koleksi buku yang sudah berpindah tempat ini, baru bertahun-tahun saya sadari bahwa ada 2 buku yang bukan milik saya, tapi milik perpustakaan.

Iyep, entah kenapa tampaknya dalam kesibukan persiapan perpindahan itu, saya masih sempat meminjam dua buku serial Goosebumps dari perpustakaan kantor di dekat rumah saya—atau mungkin sangat sangat lupa untuk mengembalikan. Harap maklum, ini bukan perpustakaan profesional di daerah mentereng.

Karena ini sudah bertahun-tahun lamanya terjadi, di tempat yang sangat jauh, mental cuek dan logika pemalas saya kumat untuk melupakan saja kejadian ini (baca: biarkan saja dua buku itu mendekam di rak bersama yang lainnya). Tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada yang dikerjakan selain berpikir, dua buku ini—meskipun hanya serial Goosebumps dan hanya dari perpustakaan kecil itu—juga adalah utang saya. Saya yang meminjam dari perpustakaan tersebut, sudah berjanji untuk mengembalikan, dan janji adalah utang, bukan? Dan saya tidak mau kalau mati nanti, entah kapan, bakal susah hanya karena ada dua buku perpustakaan yang belum saya kembalikan.

Jadi, sudah beberapa minggu terakhir ini saya sudah bolak-balik berpikir bagaimana caranya saya mengembalikan dua buku Goosebumps ini.

Mudah-mudahan saja, mereka tidak repot-repot menghitung dendanya...

err..

5.559 DAYS?! GREAT SCOTT!!

Kamis, 08 Oktober 2015

Poirot Melacak | Review

Poirot Investigates
Agatha Christie, Suwarni A.S (Penerjemah)
ISBN 9796050234 (ISBN13: 9789792232479)
Paperback, 287 hal.
Gramedia Pustaka Utama, Januari 2014 (Cetakan Keenam)


Buku ini berisi sebelas cerita singkat tentang kasus Hercule Poirot dan Kapten Hastings. Mulai dari beberapa kasus-kasus pembunuhan 'biasa', penipuan, perampokan, hingga yang heboh seperti penculikan Perdana Menteri Inggris di tengah suasana panas perang dunia.

Meski Agatha Christie adalah salah satu penulis favorit saya, tapi sejujurnya, Hercule Poirot bukanlah detektif yang ada di hati (mon défaut, monsieur). Saya lebih suka Miss Marple yang menyelesaikan kasus bukan hanya dengan cara istimewa, tapi juga dengan sudut pandang yang tidak pernah bisa saya duga.

Dari berbagai adaptasi buruk Sherlock (dan film-film petualangan detektif lainnya), saya sudah dibuat bosan dengan tipikalitas bumbling idiot sidekick--dan gambaran Kapten Hastings di cerita ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh. Belum lagi sterotip-stereotip rasisme yang muncul di beberapa cerita, benar-benar menggelikan.

Walaupun, sebenarnya, saya bisa menganggap lumrah hal ini. Mengingat waktu dan tempat ketika buku ini ditulis, juga keadaan lingkungan dari sang penulis itu sendiri. 

Buat yang penasaran seperti apa Hercule Poirot, tapi tidak terlalu ingin menghabiskan waktu membaca puluhan buku yang ada di serial, buku ringan ini lumayan bisa membantu.

Membantu untuk mengenal, tapi bukan untuk menyukai.
Penilaian berikutnya, ya tergantung karakter dan situasi masing-masing..
Hercule Poirot by CeskaSoda

Selasa, 22 September 2015

Sebelum September Berakhir

pahlawan? penjahat? martir?
boneka? dalang? korban?

Tidak semua, tapi mungkin hampir semua, para millenials dan bocah Generation X di Indonesia, punya kenangan tentang film 'wajib' itu pada saat peringatan G30S PKI. Saya katakan 'wajib', karena semua stasiun televisi pasti (dan harus) memutar film itu; dan di jaman pra-internet, pilihan kita tidaklah begitu banyak, bukan?

Setelah jatuhnya Orde Baru, kewajiban menayangkan--dan menonton--itu hilang. Untuk saya, sebenarnya ini sangat melegakan. Karena meskipun sudah berkali-kali saya lihat, tapi rasa teror, stress dan ketakutan, selalu membayang-bayangi saya tiap malam pemutaran film itu..

Tapi ada fenomena menarik yang saya perhatikan beberapa tahun terakhir ini.

Memang, terlepas dari akurasi sejarah atau fungsi propagandanya, saya juga setuju kalau dibilang film garapan Arifin C. Noer ini adalah salah satu film terbaik yang pernah dibuat dalam sejarah perfileman Indonesia. Mimpi buruk dan rasa mual yang saya alami setiap tahun adalah buktinya. Dan film Pengkhianatan G30S PKI ini, yang sudah tidak ditayangkan lagi, akhir-akhir ini jadi salah satu film yang dicari-cari..

Kalau alasannya untuk bahan referensi, atau bahan diskusi, saya tidak terlalu ambil pusing. Tapi ini, mereka ini, mencari-cari dengan penuh rasa excited, dengan level yang tampaknya sama seperti ketika mencari-cari buku langka atau kaset langka. Film Pengkhianatan ini seakan-akan sudah memasuki level klasik, cult, oldies..

Fenomena ini, terasa agak menyedihkan. Memang saya belum hidup saat masa itu, tapi ayah saya sudah. Ayah saya mengalami saat-saat itu di Jogja dan di Solo, sebagai mahasiswa dan sebagai warga keturunan. Saya sudah sering mendengar cerita beliau tentang saat tragedi itu terjadi, juga sebelum dan setelahnya. Dan sungguh, ekspresi Ayah saya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa kelamnya tahun-tahun itu. Bukan hanya tentang darah yang tertumpah, tapi juga kebencian yang ada--yang kemudian melahirkan kebencian lain.

Lalu, apakah mereka yang benar-benar penasaran, ataupun yang hanya 'ikut-ikutan' hunting film dan kisah tahun 1965 adalah orang-orang kurang ajar dan tidak hormat? 

Tidak, para pencari ini tidaklah salah. Meskipun saya tidak tahu, tapi saya mengerti perasaan mereka. Lagipula, saya juga tidak berhak untuk melabeli dan menghakimi. Saya sendiri, yang belajar sosial politik internasional, juga beberapa kali pernah merasakan hal yang sama. Dan mungkin, mungkin, excitement mereka itu tidaklah seluruhnya buruk; barangkali akan muncul percikan di kepala mereka, sebuah pertanyaan, sebuah ide bahkan.

Itulah logika saya yang berkata, dan seharusnya saya setujui.

Tapi..sungguh, perasaan ini, perasaan tidak nyaman ini masih tertinggal, ketika melihat wajah girang mereka.

Yah, jangan salahkan saya. Seperti sejarah, saya hanyalah versi lain, cerita lain dari mata lain.


[Tercetus setelah melihat gairah ekspresi tidak sabaran seseorang di perpustakaan untuk 
melihat arsip koran lama jaman 'itu'.]

Jumat, 18 September 2015

Mythology (Edith Hamilton) | Review

Mythology
Edith Hamilton 
ISBN 0451623754 (ISBN13: 9780451623751)
Paperback, 355 halaman
Terbitan Signet (1953) dari edisi asli terbitan Little, Brown & Company (1942) 

Mitologi, sebagai kumpulan cerita yang diceritakan, disampaikan dan disebarkan secara lisan dari generasi ke generasi, punya tingkat kesusahan yang sangat tinggi—bahkan tidak masuk akal—untuk menemukan dari mana dan siapa sumber sebenarnya cerita itu.  

Maka dari itu, salah satu unsur terpenting dari mitologi adalah sang pencerita, dan pandangan tersebut yang tampaknya dipegang dengan teguh oleh Edith Hamilton dalam buku ini. Di bagian Introduction, ia menjelaskan perbedaan dari sumber-sumber terkenal mitologi (Ovid, Homer, dll.), dan tidak lupa mencantumkan sumber mana yang ia pakai dalam setiap permulaan cerita-cerita mitologi. 

Buku ini bukan buku mitologi, tapi buku tentang mitologi. Meskipun ada ilustrasi-ilustrasi di dalamnya (copyright of Steele Savage), tapi jangan harapkan untuk bertemu buku seperti buku kumpulan dongeng yang unyu unyu jaman dulu.  

Mitologi 'yang sebenarnya' tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan pesan atau nasihat kepada sang pembaca. Cerita itu hanya menjelaskan, atau lebih tepatnya merupakan sebuah usaha natural untuk memahami sebuah lingkungan. Sebuah usaha manusia, maka mitologi bisa dibilang adalah sebuah cermin—pada saat dan tempat ia dimulai.

Dalam Mythology, Edith Hamilton sang classicist menjelaskan dengan lumayan lengkap tentang apa sebenarnya sastra jenis ini. Juga karena ditulis oleh seorang ahli, dan dari banyak sumber pencerita, sosok seperti Zeus, Hera, Theseus atau Hercules terlihat dengan warna yang berbeda.. sangat berbeda.  

Untuk bacaan ringan, buku ini sebenarnya lumayan. Pada awalnya, kisah-kisah kesintingan para dewa dewi, bidadari bidadara, dan pahlawan suci ini cukup menarik, berhubung versi ini—yang lebih 'manusia'—jarang ada di buku kumpulan dongeng unyu unyu jaman dulu itu. Tapi lama-lama kemiripan-kemiripan plotnya jadi makin jelas, jatuh cinta (atau sekedar nafsu birahi), cemburu, licik, bunuh diri—yang terakhir ini sungguh sangat sering, hingga membuat saya penasaran apakah ada god/goddess of suicide di mitologi Yunani...

Tidak salah, sama sekali, toh seperti saya bilang, buku ini memang niatnya untuk membahas tentang mitologi. 
Ah, tapi tentang itu.. 

Meski Edith Hamilton tampaknya sama sekali tidak bermaksud menggeneralisasi mitologi, yang dibahas di sini hanyalah cerita dan versi dari budaya Yunani, Romawi, dan Nordik. Dan yang terakhir, mitologi Nordik, dibahas dengan sangat sedikit. Terlalu terlalu sedikit bahkan sampai terlihat janggal, seperti hanya diselipkan untuk memenuhi kuota halaman saja.

Sayang sekali sebenarnya, karena mitologi Nordik juga tidak kalah menarik dibanding dua mitologi sebelumnya. Kalau hanya dibahas dengan tanggung seperti itu, mending dihapus saja sekalian, ganti judulnya jadi Greek and Roman Mythology, lalu bikin buku lain yang benar-benar niat membahas: Norse Mythology

Yaa, maunya saya sih. 
Tolong kirim ke masa lalu, wahai Hermes..

Jumat, 11 September 2015

Solilokui Lili



Tidak terlalu penting memang, tapi akhir-akhir ini saya jadi penasaran dengan apa panggilan yang tepat untuk generasi saya. Generation X? Generation Y?

Generasi yang tumbuh besar dan menjadi dewasa (secara fisik, mental selalu masih dipertanyakan) di antara rentetan perubahan. Kita mengalami masa Perang Dingin, lalu kita melihatnya runtuh. Kita diyakinkan bahwa bumi adalah tempat terbaik, lalu kita diperingatkan bahwa tempat ini akan segera mengalami kehancuran. Kita melihat mesin-mesin baru mengambil alih dunia, dalam kenyataan dan dalam imajinasi. Peraturan adalah hal paling tidak keren, mereka bilang.    

Kalau secara teori, perhitungan matematis, dan diskusi para ahli (baca: Wikipedia), yang paling tepat mungkin adalah Generation Y alias Millenials alias Net Generation, alias Peter Pan Generation, kalau kata sosiolog Kathleen Shaputis.


Meski sebenarnya, saya lebih suka istilah Generation X.
Mereka yang terlahir di antara kericuhan, tetapi menolak untuk mengakuinya sebagai akhir.
Teriakan berontak dan pertanyaan-pertanyaan terdengar dari mereka, walau terdengar bising, tapi tidak pernah berhenti. Mereka dianggap marah, tapi mereka sebenarnya hanya hendak mengatakan kalau harapan itu masih ada. Ya, mereka percaya kalau harapan itu benar-benar ada,
walau mereka terlahir di antara kericuhan, di antara kehancuran yang terlihat di depan mata,
dan walau tidak ada yang meminta agar mereka menjadi harapan itu sendiri.

Saya tidak terlalu terlibat di dunia sosiologi, antropologi, atau sejarah. Istilah apapun yang dipakai untuk identitas generasi saya paling pol juga hanya berakhir di desain kaos atau mug. Bahkan, kalau saya pikir lagi, istilah-istilah itu lebih terdengar seperti label, atau, seperti tuduhan yang ditunjuk ke kami.

Membuat saya marah, sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak.


(akibat membaca artikel ini, dan dengan tidak sengaja berpapasan dengan buku-buku motivasional jaman dulu kala yang sudah berdebu, tentu saja.)

Senin, 31 Agustus 2015

Perang (dengan) Pribadi


Beberapa tahun yang lalu, pada saat awal permulaan tahun baru, saya pernah 'iseng' bikin proyek membaca, untuk saya sendiri.

Itu adalah proyek membaca yang pertama kali saya buat, karena beberapa kebetulan sebenarnya.  Kebetulan karena saya baru sadar betapa banyaknya buku klasik yang belum sempat saya baca. Kebetulan karena saya baru menemukan gudang e-book gratis tersebut di feedbooks. Dan kebetulan juga karena saat itu saya butuh pelarian dari skripsi... :p

Maka dimulailah proyek membaca buku klasik. Tahun itu akan menjadi tahun dimana saya akan menyelesaikan membaca seluruh karya literatur klasik itu. Tahun dimana saya jatuh cinta pada Oscar Wilde, memutuskan bahwa Jane Eyre adalah cewek yang lebih hebat daripada Elizabeth Bennet, dan tahu bahwa ternyata banyak karya klasik yang sebenarnya biasa saja.

Tapi saya tidak pernah cocok dengan peraturan. Dan sungguh, gratis atau tidak gratis, membaca e-book itu bikin mata lebih cepat capek daripada buku biasa. Di akhir tahun, dari sekian ratus buku klasik yang jadi target, mungkin tidak sampai setengahnya yang berhasil saya selesaikan.

Awalnya saya merasa sedikit kesal dengan diri saya sendiri karena gagal memenuhi target tersebut, tapi akhirnya saya merasa kesal justru karena membuat target tersebut.

Saya membaca karya-karya klasik tersebut hanya karena ingin menyelesaikan proyek saja, bukan karena benar-benar ingin membaca. Sedih rasanya ketika saya sadar bahwa dari ratusan buku klasik itu, hanya sedikit yang benar-benar saya ingat (dan nikmati) isinya.

Proyek bodoh itu membuat saya membaca, dan membaca, lalu cepat-cepat menyelesaikan membaca supaya bisa segera membaca buku berikutnya. Seperti tugas sekolah saja.

Daftar unfinished classics itu memang masih mengganggu saya. Tapi saya tidak berminat untuk meneruskan proyek membaca itu, ataupun membuat yang baru. Toh tidak akan ada polisi yang menangkap saya kalau buku-buku itu belum selesai saya baca.

Seperti biasa, hanya gengsi dan kesombongan saya saja yang selalu berisik. Ini menyebalkan.

Saya tidak ingat (dan tidak ingin) punya alasan membaca hanya karena untuk membuat daftar tebal, memberi kesan baik, atau mengalahkan orang lain. Itu sungguh menyedihkan.

Saya suka membaca karena saya suka membaca. Titik.
Kalau memang ada hal-hal baru yang saya temukan pada saat membaca, ya untung. 
Kalau tidak, ya sudah.

Yah, ini peraturan yang saya coba buat, dan tidak tahu, apakah ke depannya akan membuat saya kembali tergoda untuk melanggarnya.

ahahah.

Kamis, 20 Agustus 2015

Haki Odacchi -- Wanted! | Review!

Wanted! adalah kumpulan cerita pendek (one shot) yang merupakan debut dari Oda Eiichiro alias Odacchi. Buku ini sendiri sebenarnya sudah ada dari tahun 1998, tapi baru tahun ini akhirnya Elex Media Komputindo berbaik hati untuk terjemahkan dan terbitkan.

Ada beberapa cerita yang ada dalam manga ini, idenya bermacam-macam, tapi hampir semuanya berjenis action, drama, dan adventure. Dan buat para penggemar One Piece, judul Romance Dawn pasti sudah tidak asing lagi. Yep, cerita yang bakal jadi pondasi dunia bajak laut paling terkenal dalam sejarah komik juga ada di sini.

Tapi, saya yang tidak tahu apa-apa tentang teknik menggambar bisa bilang kalau artwork Odacchi di sini masih kasar, seperti belum 'pede' benar. Kelihatan sangat jelas pengaruh Akira Toriyama di cerita-cerita di sini, mangaka yang memang Odacchi sendiri akui adalah inspirasi terbesarnya.

Meski ide ceritanya termasuk orisinil, tapi plot dan comedic timing-nya masih lemah. Tapi karena ini adalah cerita-cerita yang dibikin Odacchi pada waktu muda, jadi harap maklum saja kalau kualitasnya belum bisa menyamai One Piece yang sekarang.

Yang paling menarik sebenarnya, bagi saya pribadi paling tidak, bukan ceritanya; tapi kisah di balik pembuatan dari cerita-cerita debut ini. Curhat Odacchi-sensei bikin saya jadi makin kagum dengan semangatnya buat jadi mangaka. Dari mulai mengejar deadline sesaat setelah jadi korban kecelakaan lalu lintas, keluar dari pekerjaan part time, sampai mantap memutuskan untuk berhenti jadi asisten Nobuhiro Watsuki (pengarang Rurouni Kenshin) dan memulai serial ceritanya sendiri.


Saya jadi mengerti kenapa karakter-karakter Odacchi--terutama di buku ini--selalu punya jiwa petarung yang sungguh fokus. Entah itu Gill Bastar si penembak profesional, Bran si pencopet, atau Ryuma si ronin kelaparan. Jangan-jangan ini dasar awal dari konsep Haki di dunia One Piece?
;)

N.B: Ngomong-ngomong soal konsep awal One Piece, Wanted! juga bikin saya senang karena bisa  jadi bisa iseng nebak-nebak yang mana mungkin adalah calon desain karakter buat One Piece, dari mulai Luffy, Zorro, Vivi, Dracule Mihawk, sampai mayat yang mengambil bayangan Brook.

Jumat, 14 Agustus 2015

ライトノベル? Light novel? Novel ringan?

Kino no Tabi (Keiichi Sigsawa, Kouhaku Kuroboshi)


Istilah light novel (ライトノベル : raito noberu) tidak akan kamu temukan di kamus bahasa Inggris manapun juga. Ini hanyalah sebuah istilah yang diciptakan di dunia perbukuan di negara Jepang.

Light novel (LN) atau ranobe tidak banyak berbeda dengan buku biasa, namun ada beberapa karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas dari genre ini. Light novel, sesuai dengan artinya, biasanya hanya terdiri dari 30.000 - 50.000 kata, atau sekitar 100 - 200 halaman.

Yang menjadi ciri utama adalah isi light novel selalu ditemani dengan ilustrasi, tapi tidak sampai penuh seperti manga (komik Jepang), dan tidak juga terlalu sedikit sampai seperti buku novel lainnya. Light novel juga bisa hadir dalam serial, seperti Baccano! (Ryōgo Narita, Katsumi Enami) yang sudah berlanjut hingga 21 volume dan masih berlanjut hingga sekarang.

Penulis dan ilustrator dari light novel biasanya orang yang berbeda, meski kadang ada juga penulis yang melakukan ilustrasinya sendiri. Jika light novel ini adalah adaptasi dari sebuah serial manga/anime, maka kemungkinan akan lebih banyak lagi pihak yang dilibatkan.

Light novel pada awalnya ditargetkan khusus untuk anak-anak sampai remaja awal, tapi jangan kira ceritanya selalu simpel seperti buku dongeng bergambar..

Rating dari light novel, seperti halnya manga, juga sangat bervariasi. Light novel bisa berisi drama petualangan biasa, science fiction dan komedi seperti pada serial .hack, tapi juga bisa penuh dengan kekerasan dan dark comedy, atau filosofi hidup, yang ditargetkan lebih untuk orang dewasa seperti Kino no Tabi, All You Need Is Kill (Hiroshi Sakurazaka, Yoshitoshi ABe), atau Attack on Titan: Before The Fall (Ryō Suzukaze, Thores Shibamoto).

Keterkaitan antara dunia manga/anime dan light novel sangatlah erat. Sebuah light novel bisa merupakan adaptasi dari anime/manga terkenal, seperti Death Note atau Rurouni Kenshin; dan tidak jarang juga vice versa.

Beberapa tahun terakhir ini, kepopuleran light novel tampaknya semakin meningkat, tidak hanya di Jepang, namun juga negara-negara dimana potensi pasar anime dan manga sangat tinggi, termasuk Indonesia. Light novel--yang merupakan bentuk evolusi dari pulp magazine--mulanya dijual dengan harga yang murah. Namun dengan munculnya judul terkenal seperti serial Haruhi Suzumiya (Nagaru Tanigawa, Noizi Ito)--yang cetakan pertamanya untuk volume 10 dan 11 saja sudah melampaui 500.000 buah--'kelas' light novel tampaknya semakin meningkat, demikian pula harganya.

Di Indonesia, sekitar tahun 2000-an awal, penerbit Elex Media Komputindo pernah memunculkan beberapa judul terjemahan light novel, seperti God Family karya Sayangnya genre ini tidak begitu laris di pasaran kala itu.

Tetapi, makin ramainya buku-buku remaja sekarang ini, dan juga meningkatnya permintaan akan light novel, tampaknya potensi bentuk literatur ini sungguh sangat bisa dipertimbangkan kembali.

Ada beberapa alasan.

Ranobe bukan hanya bentuk genre literatur lain. Dengan makin ramainya kebiasaan adaptasi, light novel bisa menjadi bahan pelengkap detil kisah, seperti Baccano! yang ramai dengan plot twist dan puluhan karakter berbeda. Atau bisa juga menjadi bahan perbandingan, seperti All You Need Is Kill, yang ceritanya telah dirubah sedemikian rupa oleh Hollywood menjadi film Edge of Tomorrow. Untuk merek populer seperti Death Note, Inuyasha, Naruto, atau Attack on Titan, 'kesetiaan' para fans untuk mengkoleksi berbagai cerita dalam dunia fiksi favoritnya bisa menjadi lahan menjanjikan bagi para penerbit besar maupun kecil.

Light novel Attack on Titan: Before The Fall yang barusan dirilis tampaknya laku berat di pasaran, dan ada juga beberapa bisikan tentang akan segera rilisnya LN Naruto - Kakashi Hidden Legend: Lightning of The Frozen Sky, dan Absolute Duo beberapa bulan mendatang.

Meski demikian, ramainya animo light novel ini mengingatkan saya akan beberapa tahun yang lalu, ketika berbagai judul manga untuk berbagai umur semakin laris. Jika penerbit hanya memperhatikan potensi pasar saja, dan tidak memperhatikan dengan baik rating dan isi cerita sebenarnya, kasus beberapa tahun lalu seperti komik 'porno', penerbit tanpa lisensi, dan protes serta sterotip yang salah dari masyarakat--bisa muncul kembali. Bahkan mungkin lebih parah.

Dan kalau sudah begini yaa... klasik.
Tanggung jawab bukan hanya di penerbit dan toko buku saja loh. Orang tua jangan ketinggalan jaman, dan juga harus selalu sadar benar, ilustrasi 'imut' yang ada di sampul buku bukan selalu berarti ceritanya juga untuk anak-anak imut..

Selasa, 11 Agustus 2015

Gagal Ajaib

Ini cerita ajaib yang sayangnya gagal terjadi. Semuanya bermula dari tanda tangan di sebuah buku bekas...

Yang pernah tinggal, lewat, mendengar atau membaca tentang kota Medan pasti tahu tentang Titi Gantung. Jembatan khas yang letaknya dekat stasiun kereta api, selain terkenal karena umurnya yang sudah 130 tahun lebih, juga karena Titi Gantung adalah 'surga' bagi para pemburu buku-buku bekas dan langka.

Ketika keluarga saya masih tinggal di Medan dan lama sebelum masa penggusuran para pedagang buku, tempat ini adalah salah satu tempat favorit ayah saya. Banyak 'harta' yang ditemukan di tempat ini, dan tentu saja, saya yang lagi girang-girangnya membaca juga turut kebagian harta-harta ini.

Salah satunya adalah buku dongeng klasik terbitan Gramedia tahun 1985 berjudul Burung Emas dan Cerita-cerita Lainnya (L'Oiseau D'or et Autres Contes)

Buku kumpulan dongeng ini kemudian menjadi salah buku favorit saya. Karena bukan hanya ceritanya yang berbeda dengan dongeng 'anak-anak' lainnya, ilustrasinya juga sangat indah, karya dari ilustrator terkenal Adrienne Segùr.



Bertahun-tahun kemudian, buku itu masih saya simpan aman di rak buku kamar saya. Suatu pagi, setelah lama tak disentuh, saya iseng membuka buku itu kembali. Halaman pertama, terlihat sebuah tanda tangan, mungkin pemilik awal dari buku bekas ini.

Cecilia.

Saya punya teman bernama Cecilia. Bertemu saat kuliah, dia dari Jakarta.

Ahahah, yang benar saja..

Tapi karena bosan, saya coba memperhatikan tanda tangan itu lagi, teringat bahwa teman saya juga barusan mengirimkan sebuah kartu pos.

Ternyata...

yang kiri adalah dari buku (sengaja tidak semuanya ditampilkan..)


Kemiripan ini terlalu dekat.

Tapi sebentar--identitas orang dewasa saya mencoba membawa logika--Cecilia bukan nama yang tidak umum, dan tanda tangannya cukup sederhana.

Kemiripan ini terlalu dekat..

Yang benar saja, dua anak di kota berjarak ribuan kilometer, dan dalam jangka waktu 15 tahun?

Kemiripan ini terlalu dekat!!

Identitas orang dewasa saya kalah oleh jiwa impulsif saya yang sangat tidak percaya kebetulan. (dan mungkin juga jiwa saya yang lagi sangat bosan)

Ini mungkin hanya kemungkinan, tapi kalau kemungkinan itu adalah sebuah kemungkinan akan sebuah keajaiban, tentu harus dikejar!

Saya kemudian menghubungi teman saya itu, bertanya apakah saat kecil dia pernah punya buku dongeng berjudul Burung Emas.

Dan jawabannya adalah...

Tidak pernah.

(pada titik ini, identitas orang dewasa saya tertawa terbahak-bahak.)

Kemungkinan akan adanya sebuah keajaiban: gagal.
------------

ah, bien.. c'est la vie.

Sayang sekali memang, dan bohong kalau saya bilang saya tidak kecewa (lebih kecewa karena harus bosan kembali).

Tapi sungguh, saya tidak sedih. Meski sebuah cerita tentang keajaiban dari sebuah buku dongeng klasik akhirnya gagal, tapi saya rasa saya tidak kehilangan apapun.

Ketika saya membandingkan kedua tanda tangan itu, keterkejutan itu sempat membuat napas saya berhenti. Dan kemungkinan akan sebuah keajaiban itu, sempat membuat otak saya menciptakan probabilitas-probabilitas, rencana-rencana, strategi-strategi, logika-logika. Kejadian itu juga menghasilkan sebuah tawa, dan sebuah rasa dimana dunia saya seakan bertambah luas.

Mungkin hanya sepersekian detik hal ini terjadi, tapi waktu adalah relatif, dan sepersekian detik akan sebuah kemungkinan keajaiban ini saya rasa sudah cukup untuk mengobati gagalnya sebuah keajaiban tersebut.

Kamis, 06 Agustus 2015

Bukan Umurmu [Saga: Identitas Komik #2]

(Artikel ini merupakan bagian dari saga Identitas Komik)

Good grief!

 "wah, saya sih gak suka baca buku. Palingan komik.."

"udah gede kok baca komik terus."

Anggapan-anggapan ini membuat saya agak bingung sebenarnya. Apakah yang dianggap buruk adalah karena isi dari komiknya, atau semata-mata karena komik penuh dengan gambar..

Sindiran semacam ini juga semakin membuat saya yakin kalau bahkan sampai sekarang, komik masih diasosiasikan dengan anak kecil. Ada semacam harapan, atau mungkin generalisasi norma; kalau pintar adalah dengan membaca buku, dan buku adalah lembar-lembar tulisan yang dijilid--bukan panel-panel gambar.

Komik, alias buku bergambar, tidak akan membuat otak berkembang. Isinya terlalu gampang, bahkan akan membuat otak rusak. Sebuah mitos yang tidak pernah terbukti dengan jelas sampai sekarang.

Komik sama saja seperti buku lain, 'nasib' dari isi seluruhnya ada di tangan sang pengarang. Hanya kemampuan sang pengarang sendiri--dalam meletakkan panel gambar dan kalimat sesuai timing, yang kemudian bisa menentukan apakah komik tersebut kemudian berhasil menyampaikan apa yang ada dalam hati dan pikiran sang pengarang.

Untuk alasan tentang isi komik, saya bisa kasih argumen yang jelas untuk itu. Tidak semua komik adalah cerita untuk anak-anak. Ini fakta yang sebenarnya sudah lama ada, namun (karena banyak faktor) tidak terlalu dipedulikan di masyarakat.

Meski tidak ada hal perihal seperti kekerasan atau nudity yang perlu dikhawatirkan, cerita dari beberapa komik terkadang terlalu 'kelam', atau simpel saja, kemungkinan besar tidak akan menarik untuk umur belia. Misalnya komik slice-of-life seperti Solanin (Inio Asano), komik filsafat seperti Epileptik (David B.), komik tante-tante seperti Kimi wa Petto (Yayoi Ogawa), atau komik--yang meski setting-nya luar angkasa di masa depan, tapi njelimet macam Planetes (Makoto Yukimura).

Biarpun tokohnya sendiri adalah anak-anak atau makhluk antropomorfik yang 'imut', cerita seperti Mafalda (Quino), Dommel/Cubitus (Dupa), atau serial Peanuts dari Charles M. Schultz juga bisa penuh dengan sindiran satir pada sejarah, politik, dan budaya. Dan biar bentuknya adalah komik strip, jangan kira ekspresi mereka sungguh gamblang dan sederhana.

Ketika saya kuliah, seringkali dosen saya menggunakan kutipan dari komik strip Peanuts sebagai bahan diskusi di kelas, baik itu di kelas ilmu politik, sejarah, atau filsafat. 'Pelajaran hidup', jujur saya katakan, lebih banyak saya dapat dari komik seperti Planetes, Alien Street, Peanuts, Aria, atau Yotsuba&!

Jadi, apakah saya terlalu tua untuk baca komik?

Rabu, 15 Juli 2015

Menunggu Prajurit Schweik yang Baik Hati


Karya Josef Švejk di saat Perang Dunia I. Keberuntungan yang dia alami sering kali justru menghasilkan kesialan untuk orang-orang sekitarnya. Saking eksentriknya, prajurit ini lebih sering dianggap tidak berotak oleh atasannya.

Kisah-kisahnya sederhana sebenarnya, satir yang penuh dengan filosofi. Saya jadi agak teringat cerita-cerita Nasrudin Hoja, yang tokoh utamanya sama-sama dipertanyakan kesehatan mentalnya--namun juga membuat tokoh lain mempertanyakan kesehatan mentalnya sendiri.

Setting waktu dan tempatnya (Prague, Perang Dunia I) bikin saya jadi berasa kuliah lagi, karena saya jadi penasaran berat dengan naik-turunnya sejarah politik Eropa waktu PD I dulu (yang notabene topik yang tidak pernah saya ambil waktu kuliah).

Buku klasik yang diterjemahkan apik oleh Djokolelono ini belum selesai saya baca sampai sekarang. Bukan karena malas, tapi lebih karena ingin menikmati lebih lama lagi kekonyolan kepintaran mas Prajurit Schweik. 

Ada sedikit kisah personal antara saya dengan buku ini.
Buku karangan penulis Ceko ini sebenarnya sudah saya 'incar' sejak nyaris 7 tahun yang lalu. Baru tahun inilah takdir mempertemukan saya dengan Mas Schweik..

Pertama kali saya melihat buku ini di pojok rak sebuah toko buku. Berdebu, tua, dan terlihat menyedihkan--masuk akal sebenarnya, karena yang saya lihat adalah versi terjemahan yang tahun 1992.

Sinopsis dengan kata 'satir' dan 'klasik' sudah cukup bikin saya tertarik. Namun, dengan isi dompet yang (terlalu) realistis, saya harus merelakan buku ini pergi, berhubung ada buku lain, buku lain yang lebih menentukan nasib kelulusan kuliah saya.

Meski saya berkali-kali kembali ke toko buku yang sama, dengan isi dompet yang sedikit lebih tebal, dan tanpa perlu mengkhawatirkan nasib kelulusan, saya tetap tidak pernah menemukan buku Prajurit Schweik itu lagi. Mencari di toko-toko lain, kota-kota lain pun sama. Setelah 4 tahun, akhirnya saya menyerah.

Tiga tahun kemudian..

Untuk kesekian kalinya saya gagal dalam sebuah tes pekerjaan. Tidak usah menunggu hasilnya pun saya sudah tahu; wawancara selalu bikin masalah. Saya tidak mau meratapi nasib, tapi untuk sekali ini saja, saya ingin menghibur diri. Di tengah perjalanan pulang, saya turun di sebuah toko buku. Besar, penuh dengan buku-buku lama, tapi sepi. Cocok untuk saya yang sedang ingin lari ke dunia lain tanpa harus berhubungan dengan manusia.

Toko buku itu penuh dengan buku-buku kuliah sebenarnya, tapi untung para karyawannya cukup murah hati, meski saya menghabiskan waktu berjam-jam di situ tanpa membeli buku satupun. Iseng mengingat kemampuan EYD saya yang parah, bagian kamus lalu menjadi tujuan utama saya.

Dan... (tolong suara drumnya)
Di sanalah Prajurit Schweik bersandar.

Berdebu, dengan pinggiran yang sudah menguning, di tengah-tengah tumpukan kamus. Butuh beberapa menit sebelum saya sadar kalo saya lagi ngakak keras sambil loncat-loncat sendiri di tengah toko buku..

Saya gak mau lebay, tapi saya gak pernah percaya sama yang namanya kebetulan. Dan 'dipertemukan' dengan buku yang sudah dicari-cari setengah mati selama 7 tahun, di saat perasaan sedang patah arang pula, rasanya kok ya gimana gitu. Seperti si Prajurit Schweik menyuruh saya untuk ketawa saja, ngakak saat depresi, meski terlihat bodoh sekalipun.

Ahaha, terkadang momentum yang tepat memang lebih penting daripada kuantitas pencapaian.
;]

Selasa, 07 Juli 2015

Kobar Api Sapardi


Ayat-ayat Api : Kumpulan Sajak

Sapardi Djoko Damono
Pustaka Firdaus, 2000
158 hlm.











Menurut kata pengantar dari Pak Sapardi Djoko Damono, buku ini berisi sajak-sajak dari dirinya yang ditulis dari tahun 1984 hingga 1999. Beberapa sudah pernah dimuat, beberapa pernah terbit terbatas, dan yang lainnya belum pernah muncul dalam buku.

Waktu pertama saya baca buku ini, sekitar berabad-abad lalu, saya gak pernah mengerti, apalagi tertarik sama isi-isinya. Mungkin karena saya memang jarang masuk area dunia puisi, dan juga karena waktu itu kepala saya masih terlalu panas buat mencoba mengerti 'api' yang ada dalam sajak Pak Sapardi ini.

Sekarang buku itu muncul lagi di tangan saya--tidak tahu kenapa, padahal yang saya cari buku lain. Setelah memutuskan untuk mencoba lagi, hasilnya malah mengejutkan. Puisi-puisi ini membawa saya ke area yang jauh berbeda, bahkan juga berbeda dari Hujan Bulan Juni--buku puisi pak Sapardi yang (saya kira) pertama saya baca (dan cintai).

Tapi anehnya, dari beberapa review lain soal buku ini, interpretasi saya malah jauh berbeda. Memang jelas terlihat Pak Sapardi berbicara tentang masalah sosial dan politik di era 90-an dalam beberapa sajaknya, tapi justru dari mayoritas yang lain saya menganggap Pak SDD banyak berbicara tentang kehidupan itu sendiri, tentang tumbuh dari tiada, hidup, dan menuju kembali ke sang Pencipta itu lagi. Seperti dalam potongan sajak utamanya, Ayat-ayat Api /9/:


api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya ia tak bisa
menjadi fosil

api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya kita luluh lantak
dalam kobarannya


Tema umum tentang kehidupan dalam kumpulan sajak ini masih dengan gaya SDD tentunya, yang meski berbicara tentang dirinya, namun tetap tidak terasa self-centered, mungkin karena khas SDD--dengan kekocakan tersembunyi seperti di sajak Pada Suatu Maghrib:

Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini,
hari hampir maghrib, hujan membuat segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,
astaghfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip

Mungkin pikiran ini juga muncul karena saya terpengaruh oleh Pak SDD sendiri, yang bilang kalau buku ini diterbitkan sekaligus untuk menandai umurnya yang sudah memasuki dekade keenam. Entahlah, itu yang saya lihat dan saya maknai tentang api kumpulan sajak ini. Saya amatir kalau masalah puisi dan sastra, tapi.. apakah benar ada kata 'salah' dalam urusan interpretasi?

Jumat, 03 Juli 2015

Saga: Identitas Komik

"... Komik menurutku bukan buku. Ia lebih tampak seperti sebuah TV tanpa kabel listrik, tidak bergerak dan tidak bersuara. ..."
Taman Sunyi Sekala - Aida Vyasa



?!


Pernyataan seperti ini bukan hanya sekali atau dua kali terdengar, namun seperti sudah merupakan pandangan lumrah yang ada di masyarakat. Identitas yang diberikan kepada komik tampaknya lebih inferior dibandingkan jenis 'buku' yang lain.
Jika membaca adalah hal yang baik karena menstimulasi otak dengan aktivitasnya menginterpretasikan huruf-huruf dalam tulisan menjadi wujud nyata (Otak Kata), apakah hal yang sama tidak bisa dikatakan dengan membaca komik?

Masalah-masalah tersebut yang akan kita bahas dalam saga kali ini. Apakah komik, hanya karena lebih banyak berisi gambar daripada tulisan, tidak boleh disetarakan sama dengan buku? Apakah benar komik tidak bermanfaat sama sekali?

Dengan menggunakan kata 'komik' dalam saga artikel ini hanyalah untuk kemudahan sementara. Tentu bukan maksud saya untuk menggeneralisasikan semua jenis komik. Komik superhero Amerika, komik silat, komik strip, novel grafis, pasti tidak bisa disamakan dengan manga atau manhwa (yang mungkin juga akan kita bahas tersendiri ;)

Jadi, mari kita mulai saga ini!!

YOSH!

(Artikel ini merupakan bagian dari saga Identitas Komik)

Sabtu, 27 Juni 2015

Otak Kata [Saga: Identitas Komik #1]

(Artikel ini merupakan bagian dari saga Identitas Komik)




Beberapa minggu terakhir ini, saya sudah beberapa kali membaca (atau sekedar melihat) artikel-artikel online tentang efek membaca terhadap otak dan kepribadian kita. Anjuran-anjuran lama untuk 'banyak membaca buku adalah hal yang baik', tampaknya tidak terlalu salah. 

Paling tidak menurut artikel-artikel ini...

Hmm, saya akan tampilkan beberapa rangkumannya.

Para orang pintar yang disebut peneliti saraf ini, telah lama mempelajari apa yang sebenarnya dilakukan otak ketika kita membaca. Jangan bayangkan imaji otak yang bekerja keras seperti mesin pabrik industrial, kalau dilihat dari hasil penelitian mereka ini, kerja otak mungkin lebih seperti seorang drummer dalam sebuah konser jazz.

Ketika membaca sebuah tulisan, kerja otak bukan hanya mengartikan kata-kata dalam tulisan itu, tapi juga berusaha menginterpretasikan tulisan tersebut menjadi 'kenyataan'. Otak akan mengaktifkan dan menghubungkan berbagai bagian otak, seperti bagian visual, bagian aroma, bagian kepekaan, dll.

Menurut Véronique Boulenger, seorang peneliti kognitif dari Laboratory of Language Dynamics di Prancis, sebegitu berusahanya otak untuk 'menciptakan' kata-kata tertulis menjadi sedekat mungkin dengan kenyataan, hingga bahkan ketika otak membaca kalimat seperti "Pablo menendang bola"; otak akan mengaktifkan motor cortex, yaitu area otak yang mengkoordinasi gerakan tubuh. (The Brilliant Blog)

Stimulasi-stimulasi yang dilakukan otak ketika kita membaca bisa dibilang sama seperti--atau paling tidak hampir sama--ketika kita benar-benar mengalami kejadian itu sendiri.

Ketika kita membaca sebuah cerita, atau tulisan, bagian jaringan otak yang aktif juga sama seperti ketika kita sedang berusaha untuk memahami perasaan orang lain. (Annual Review of Psychology, 2011)

Karena segala metafora yang ada, juga dengan 'dunia yang jauh berbeda', maka usaha interpretasi yang dilakukan otak akan lebih tinggi ketika yang kita baca adalah tulisan fiksi. Hal ini kemudian menyebabkan beberapa peneliti menyimpulkan kalau para penggemar fiksi adalah orang-orang yang lebih empatis, lebih gampang memahami perasaan dan pikiran orang lain.

Tapi benarkah itu?
Bisakah hasil penelitian ini kemudian didasarkan pada semua jenis buku?

Senin, 22 Juni 2015

Kenapa Berkata



Untuk mendokumentasikan sesuatu, sebagai buku harian, sebagai alat berdagang, sebagai alat komunikasi, karena semua orang membuatnya, atau hanya 'karena' saja. Yang tadi itu hanya sebagian kecil dari banyak alasan kenapa seseorang memulai blog. Dan juga sebagian kecil dari alasan saya kenapa blog ini dimulai.

Sebagai benda fisik dan benda mental, buku tidak pernah jauh-jauh dari saya. Entah dari fungsi utamanya, yaitu untuk dibaca, atau hanya sebagai alat proteksi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kutu buku? Mungkin iya, mungkin tidak. Ada juga banyak saat ketika saya sama sekali tidak ingin berhubungan dengan buku, dan lagi pula melabeli identitas seperti itu bukan hal yang menyenangkan sama sekali.

Tapi, apa pun itu, buku masih menjadi barang kesukaan saya yang nomor satu. Hal inilah kenapa kemudian saya berkata, dan blog ini muncul.

Rasanya seperti ada yang kurang ketika saya membaca, tapi tidak menulis. Ada beberapa review buku yang sudah saya tulis, entah itu review 'serius' atau hanya review emosional, tapi selama ini tulisan-tulisan review itu hanya nongkrong di goodreads saja.

Lagipula--kenapa saya repot-repot membuat blog--membaca buku bukan hanya menghasilkan review saja. Percayalah, ada banyak hal, beberapa di antaranya ajaib bahkan, yang asal-muasalnya adalah buku.

Jadi, sebagai dokumentasi, sebagai buku harian, sebagai alat komunikasi, sebagai tantangan, sebagai pelampiasan, juga hanya 'karena' saja, adalah alasan kenapa saya berkata, tentang buku yang lili buka.

:]