Jumat, 11 September 2015

Solilokui Lili



Tidak terlalu penting memang, tapi akhir-akhir ini saya jadi penasaran dengan apa panggilan yang tepat untuk generasi saya. Generation X? Generation Y?

Generasi yang tumbuh besar dan menjadi dewasa (secara fisik, mental selalu masih dipertanyakan) di antara rentetan perubahan. Kita mengalami masa Perang Dingin, lalu kita melihatnya runtuh. Kita diyakinkan bahwa bumi adalah tempat terbaik, lalu kita diperingatkan bahwa tempat ini akan segera mengalami kehancuran. Kita melihat mesin-mesin baru mengambil alih dunia, dalam kenyataan dan dalam imajinasi. Peraturan adalah hal paling tidak keren, mereka bilang.    

Kalau secara teori, perhitungan matematis, dan diskusi para ahli (baca: Wikipedia), yang paling tepat mungkin adalah Generation Y alias Millenials alias Net Generation, alias Peter Pan Generation, kalau kata sosiolog Kathleen Shaputis.


Meski sebenarnya, saya lebih suka istilah Generation X.
Mereka yang terlahir di antara kericuhan, tetapi menolak untuk mengakuinya sebagai akhir.
Teriakan berontak dan pertanyaan-pertanyaan terdengar dari mereka, walau terdengar bising, tapi tidak pernah berhenti. Mereka dianggap marah, tapi mereka sebenarnya hanya hendak mengatakan kalau harapan itu masih ada. Ya, mereka percaya kalau harapan itu benar-benar ada,
walau mereka terlahir di antara kericuhan, di antara kehancuran yang terlihat di depan mata,
dan walau tidak ada yang meminta agar mereka menjadi harapan itu sendiri.

Saya tidak terlalu terlibat di dunia sosiologi, antropologi, atau sejarah. Istilah apapun yang dipakai untuk identitas generasi saya paling pol juga hanya berakhir di desain kaos atau mug. Bahkan, kalau saya pikir lagi, istilah-istilah itu lebih terdengar seperti label, atau, seperti tuduhan yang ditunjuk ke kami.

Membuat saya marah, sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak.


(akibat membaca artikel ini, dan dengan tidak sengaja berpapasan dengan buku-buku motivasional jaman dulu kala yang sudah berdebu, tentu saja.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar