Senin, 14 Agustus 2017

(Severe) Reader's Block : Rant Edition




Urban Dictionary:
"Related to Writer's Block, this is when you cannot, for the life of you, pick up a book and read it. 
Sure, you may be able to read a paragraph or two, or maybe even a page, but you don't retain anything of what you just read or have the attention span and/or will to go on. This is common for those who have ADD, are in possession of garbage literature, or are just so exhausted from having to read so many books during school/college that reading anything else, even for pleasure, has become impossible. To those who love to read, this is worse than heart disease and cancer combined."


untuk seseorang yang "cinta buku" (dan punya blog tentang buku, dengan judul buku..), jumlah buku yang saya baca sangat sedikit. Terlalu sedikit. 
Terutama setahun terakhir ini. Nyaris tidak ada buku baru yang saya baca. Memang ada beberapa buku yang lama yang saya baca ulang, tapi selain itu dan beberapa komik lainnya, tidak ada baru. Saya tidak tahu jelas alasannya, apa karena capek, atau bosan, atau muak. Tapi kemungkinan besar penyebabnya adalah satu: BUKU ITU MAHAL.

Harga buku di Indonesia keterlaluan mahalnya. Kalau beberapa tahun yang lalu harga yang tertera hanya membuat saya masam, tapi akhir-akhir ini melihat harga di toko buku nyaris bikin serangan jantung. 

Dulu, meskipun saya tidak tahu isi buku itu apa dan saya tidak kenal/pernah dengar nama pengarangnya, saya masih bisa cukup nekat untuk beli buku. Kalau bagus, ya untung, kalau nggak, ya sudah, bikin review, lalu sumbang saja bukunya. Tapi sekarang, meskipun itu pengarang favorit saya, dan saya sudah haqul yakin buku itu bakal bagus, saya akan berpikir seribu kali sebelum beli buku itu. Kalaupun ada daftar prioritas, beli buku itu bakal menempati nomor paling bawah, tepat di bawah input daftar: "BERTAHAN HIDUP". Kalau dulu membaca buku adalah menjadi kebutuhan (utama) bagi saya, sekarang harga buku yang mahal membuat membaca buku menjadi keegoisan bagi saya. 

Kenapa harga buku begitu mahal di Indonesia? Panjang cerita tragedinya, mulai dari pajak yang begitu banyak diterapkan oleh pemerintah, harga kertas yang melonjak, hingga monopoli sadis toko buku besar. (lihat: ini dan ini)

Perpustakaan?
meh.
Perpustakaan yang bisa saya datangi (dengan kategori: milik publik, dekat dengan akses transportasi umum, dan berjarak kurang dari satu jam perjalanan) jauh dari kata layak. Orang-orang yang datang ke sana hanya untuk dua hal: Internet gratis dan atau baca koran. Jangankan buku yang update, buku sastra klasik Indonesia saja tidak bisa saya temukan di sana. 

Akhir-akhir ini, saya semakin tidak tahan melihat kampanye-kampenye 'Meningkatkan Minat Baca Indonesia' yang dijalankan pemerintah. Isinya cuman retorika belaka. Omong kosong. Pemerintah gak usah ngeluh, sok bilang 'orang Indonesia malas baca', kalau kenyataannya masih tidak memperdulikan harga buku yang melonjak tinggi. Oke, hebat, bolak-balik kasih penghargaan ke ratusan Pustaka Keliling, tapi seperti melupakan fakta kalau Perpustakaan milik pemerintah sendiri gak pernah diurus dengan benar.

Saya sedih, marah, dan muak. Dan mungkin, luapan emosi ini juga yang membuat Reader's Block saya semakin parah. Meski harus diakui, pada akhirnya, emosi-emosi ini tidak berguna, tetap tidak bisa mengisi dompet saya dengan uang untuk beli buku. 

Untuk sekarang ini, yang bisa saya lakukan hanya menutup telinga dan mata saja setiap ada liputan tentang Kampanye Literasi yang muncul. Dan untuk kutukan Reader's Block, saya sudah berhenti untuk mencoba melawannya. Bukan berarti saya menyerah dan berhenti membaca buku, saya cuman mulai dari hal kecil saja dulu, mengingat kembali rasa sayang saya terhadap buku, waktu yang telah saya habiskan bersama buku, dan apa yang telah mereka berikan kepada saya...
(yes, I'm still talking about books)





-end of rant-

Sabtu, 09 April 2016

Lelaki Harimau | Review

Lelaki Harimau

Eka Kurniawan, 2004
Gramedia Pustaka Utama
ISBN13 9786020307497



Tidak seperti yang saya harapkan. Malahan, lebih baik daripada yang saya harapkan.

Di halaman-halaman awal, paragrafnya yang penuh dengan sub-kalimat, dan juga POV yang beragam, terus terang mengingatkan saya sama novelnya Gabo. Meskipun bukan saya saja yang berpikir seperti ini, tapi sesungguhnya Eka Kurniawan punya gayanya sendiri. Bahasanya juga apik, dan membuat saya sedikit 'kasihan' dengan orang luar yang membaca buku terjemahannya.

Ceritanya bukan tentang Margio saja, yang membunuh Anwar Sadat dengan cara kejam tak terbayangkan, tetapi hampir tentang semua orang yang berputar dalam kehidupannya, mulai dari orang kampung sekitar, teman-temannya, ayah, ibu, hingga janda tua pemilik tanah setengah desa.

Sebenarnya, di tengah buku saya agak tak sabaran, dengan semua sub-sub-cerita itu, timeline yang kadang melompat-lompat maju mundur kiri kanan, dan salah ketik yang meninggalkan tanda ¬.

Kemudian saya akhirnya sadar bahwa kisah dan latar belakang para tokoh ini kemudian berputar, membentuk suatu motif kenapa Margio, suatu hari di tengah sore yang sepi itu, membisikkan beberapa kata kepada Anwar Sadat sebelum mengigit urat lehernya hingga putus.

Harimau itu mungkin sudah terpendam di dalam hati banyak orang, tetapi Margio-lah yang membiarkannya keluar..

Sabtu, 02 April 2016

Korban Iklan #2

seperti Necker's Cube, selalu tergantung sudut pandangnya..


Masih cerita tentang saya, si korban iklan dunia sinema masa kini.. 

Kasusnya konyol terkadang, misalnya ketika saya jadi keras kepala: sampai sekarang saya belum mau menonton A Most Wanted Man dan Tales From Earthsea hanya karena saya belum menyelesaikan bukunya--dalam kasus Earthsea, seluruh serialnya. Kekonyolan yang tampaknya benar-benar berasal dari sifat snob saya..

Saya tahu kalau yang namanya menjadi korban, apapun itu, bukanlah hal yang baik. Apalagi kalau itu karena godaan untuk pamer dan kebanggaan nyasar. Bagaimanapun juga, tetap saja saat godaan itu melirik, saya jadi korban lagi. Seperti ketika muncul trailer film High-Rise dengan Tom Hiddleston sebagai karakter utama, atau saat The Night Manager, novel lama le CarrĂ© dengan adaptasi terbaru dalam bentuk miniserinya, dengan duet Hugh Laurie dan Tom Hiddleston (lagi. oh no..oh yes.)

Tapi kalau dipikir, kasus saya ini tidaklah seluruhnya terlalu buruk, toh bagaimanapun juga, karena alasan apapun juga, saya jadi makin giat membaca.

Bukan, ini bukan pembenaran. Yah..tidak seluruhnya, maksud saya..

Ada beberapa hal baik yang muncul, karya-karya klasik yang tidak pernah saya tahu sebelumnya, pengarang baru yang talentanya hebat, dan yang paling sering adalah, pengarang lama yang meski sudah sering saya dengar namanya, tapi saya tidak pernah tertarik dengan karyanya.

Seperti dengan Ursula K. Le Guin, pengarang yang konon adalah salah satu inspirasi Neil Gaiman, tapi baru sekarang saya mulai membaca (dan jatuh cinta pada buku pertama) serial mitologi Earthsea nya.

Juga misalnya ketika terdengar berita James Franco akan membintangi miniseri hasil adaptasi novel Stephen King terbaru, 11/22/63. Saya tahu sang pengarang ini, tapi beberapa kali saya berpikir bahwa tipe cerita horor Stephen King tidak akan pernah cocok dengan selera saya. Tapi, James Franco dalam miniseri thriller-sains fiksi tentang time travelling? Akhirnya, asumsi lama saya terbantah setelah saya membaca 11/22/63, dan membuat saya penasaran dengan judul-judul buku lama sang Stephen King.

Atau yang akhir-akhir ini terjadi, 'reuni' saya dengan John le Carré. Gara-gara The Constant Gardener, buku dan filmnya, saya tidak pernah terpikir kembali nama sang penulis mantan agen MI6 ini. Tapi kemudian berubah setelah Tinker, Tailor, Soldier, Spy... kini hati saya dipenuhi intel pensiunan George Smiley, dan Tailor of Panama juga A Perfect Spy sudah menunggu di daftar bacaan.

Jadi, apakah menjadi korban iklan dan kalah dengan godaan dunia sinema adalah hal yang benar-benar buruk? Lagi-lagi, tentu tidak semuanya. Terkadang tergantung niatnya, dan kalaupun niatnya buruk (pamer), bukan tidak mungkin dalam proses membaca, hasilnya malah berubah.

Mengundang pemikiran misalnya, saya terkejut ketika membaca buku asli Children of Men (P.D James) yang ternyata berbeda jauh dengan film adaptasinya. Dan meski saya jauh lebih suka filmnya, tapi bukunya berhasil melengkapi cerita latar belakang sang tokoh utama.

Walau diawali karena godaan iklan, belum tentu juga saya akhirnya benar-benar menonton adaptasinya. Setelah membaca High-Rise, novel distopia klasik karya J.G Ballard, saya agak tidak yakin film adaptasinya akan bisa mencakup semua kegilaan super depresif yang ada dalam bukunya.

Meski mungkin mas Tom akan merubah hal ini sih.

Aih, dunia...