Kamis, 06 Agustus 2015

Bukan Umurmu [Saga: Identitas Komik #2]

(Artikel ini merupakan bagian dari saga Identitas Komik)

Good grief!

 "wah, saya sih gak suka baca buku. Palingan komik.."

"udah gede kok baca komik terus."

Anggapan-anggapan ini membuat saya agak bingung sebenarnya. Apakah yang dianggap buruk adalah karena isi dari komiknya, atau semata-mata karena komik penuh dengan gambar..

Sindiran semacam ini juga semakin membuat saya yakin kalau bahkan sampai sekarang, komik masih diasosiasikan dengan anak kecil. Ada semacam harapan, atau mungkin generalisasi norma; kalau pintar adalah dengan membaca buku, dan buku adalah lembar-lembar tulisan yang dijilid--bukan panel-panel gambar.

Komik, alias buku bergambar, tidak akan membuat otak berkembang. Isinya terlalu gampang, bahkan akan membuat otak rusak. Sebuah mitos yang tidak pernah terbukti dengan jelas sampai sekarang.

Komik sama saja seperti buku lain, 'nasib' dari isi seluruhnya ada di tangan sang pengarang. Hanya kemampuan sang pengarang sendiri--dalam meletakkan panel gambar dan kalimat sesuai timing, yang kemudian bisa menentukan apakah komik tersebut kemudian berhasil menyampaikan apa yang ada dalam hati dan pikiran sang pengarang.

Untuk alasan tentang isi komik, saya bisa kasih argumen yang jelas untuk itu. Tidak semua komik adalah cerita untuk anak-anak. Ini fakta yang sebenarnya sudah lama ada, namun (karena banyak faktor) tidak terlalu dipedulikan di masyarakat.

Meski tidak ada hal perihal seperti kekerasan atau nudity yang perlu dikhawatirkan, cerita dari beberapa komik terkadang terlalu 'kelam', atau simpel saja, kemungkinan besar tidak akan menarik untuk umur belia. Misalnya komik slice-of-life seperti Solanin (Inio Asano), komik filsafat seperti Epileptik (David B.), komik tante-tante seperti Kimi wa Petto (Yayoi Ogawa), atau komik--yang meski setting-nya luar angkasa di masa depan, tapi njelimet macam Planetes (Makoto Yukimura).

Biarpun tokohnya sendiri adalah anak-anak atau makhluk antropomorfik yang 'imut', cerita seperti Mafalda (Quino), Dommel/Cubitus (Dupa), atau serial Peanuts dari Charles M. Schultz juga bisa penuh dengan sindiran satir pada sejarah, politik, dan budaya. Dan biar bentuknya adalah komik strip, jangan kira ekspresi mereka sungguh gamblang dan sederhana.

Ketika saya kuliah, seringkali dosen saya menggunakan kutipan dari komik strip Peanuts sebagai bahan diskusi di kelas, baik itu di kelas ilmu politik, sejarah, atau filsafat. 'Pelajaran hidup', jujur saya katakan, lebih banyak saya dapat dari komik seperti Planetes, Alien Street, Peanuts, Aria, atau Yotsuba&!

Jadi, apakah saya terlalu tua untuk baca komik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar