Rabu, 15 Juli 2015

Menunggu Prajurit Schweik yang Baik Hati


Karya Josef Švejk di saat Perang Dunia I. Keberuntungan yang dia alami sering kali justru menghasilkan kesialan untuk orang-orang sekitarnya. Saking eksentriknya, prajurit ini lebih sering dianggap tidak berotak oleh atasannya.

Kisah-kisahnya sederhana sebenarnya, satir yang penuh dengan filosofi. Saya jadi agak teringat cerita-cerita Nasrudin Hoja, yang tokoh utamanya sama-sama dipertanyakan kesehatan mentalnya--namun juga membuat tokoh lain mempertanyakan kesehatan mentalnya sendiri.

Setting waktu dan tempatnya (Prague, Perang Dunia I) bikin saya jadi berasa kuliah lagi, karena saya jadi penasaran berat dengan naik-turunnya sejarah politik Eropa waktu PD I dulu (yang notabene topik yang tidak pernah saya ambil waktu kuliah).

Buku klasik yang diterjemahkan apik oleh Djokolelono ini belum selesai saya baca sampai sekarang. Bukan karena malas, tapi lebih karena ingin menikmati lebih lama lagi kekonyolan kepintaran mas Prajurit Schweik. 

Ada sedikit kisah personal antara saya dengan buku ini.
Buku karangan penulis Ceko ini sebenarnya sudah saya 'incar' sejak nyaris 7 tahun yang lalu. Baru tahun inilah takdir mempertemukan saya dengan Mas Schweik..

Pertama kali saya melihat buku ini di pojok rak sebuah toko buku. Berdebu, tua, dan terlihat menyedihkan--masuk akal sebenarnya, karena yang saya lihat adalah versi terjemahan yang tahun 1992.

Sinopsis dengan kata 'satir' dan 'klasik' sudah cukup bikin saya tertarik. Namun, dengan isi dompet yang (terlalu) realistis, saya harus merelakan buku ini pergi, berhubung ada buku lain, buku lain yang lebih menentukan nasib kelulusan kuliah saya.

Meski saya berkali-kali kembali ke toko buku yang sama, dengan isi dompet yang sedikit lebih tebal, dan tanpa perlu mengkhawatirkan nasib kelulusan, saya tetap tidak pernah menemukan buku Prajurit Schweik itu lagi. Mencari di toko-toko lain, kota-kota lain pun sama. Setelah 4 tahun, akhirnya saya menyerah.

Tiga tahun kemudian..

Untuk kesekian kalinya saya gagal dalam sebuah tes pekerjaan. Tidak usah menunggu hasilnya pun saya sudah tahu; wawancara selalu bikin masalah. Saya tidak mau meratapi nasib, tapi untuk sekali ini saja, saya ingin menghibur diri. Di tengah perjalanan pulang, saya turun di sebuah toko buku. Besar, penuh dengan buku-buku lama, tapi sepi. Cocok untuk saya yang sedang ingin lari ke dunia lain tanpa harus berhubungan dengan manusia.

Toko buku itu penuh dengan buku-buku kuliah sebenarnya, tapi untung para karyawannya cukup murah hati, meski saya menghabiskan waktu berjam-jam di situ tanpa membeli buku satupun. Iseng mengingat kemampuan EYD saya yang parah, bagian kamus lalu menjadi tujuan utama saya.

Dan... (tolong suara drumnya)
Di sanalah Prajurit Schweik bersandar.

Berdebu, dengan pinggiran yang sudah menguning, di tengah-tengah tumpukan kamus. Butuh beberapa menit sebelum saya sadar kalo saya lagi ngakak keras sambil loncat-loncat sendiri di tengah toko buku..

Saya gak mau lebay, tapi saya gak pernah percaya sama yang namanya kebetulan. Dan 'dipertemukan' dengan buku yang sudah dicari-cari setengah mati selama 7 tahun, di saat perasaan sedang patah arang pula, rasanya kok ya gimana gitu. Seperti si Prajurit Schweik menyuruh saya untuk ketawa saja, ngakak saat depresi, meski terlihat bodoh sekalipun.

Ahaha, terkadang momentum yang tepat memang lebih penting daripada kuantitas pencapaian.
;]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar