Selasa, 07 Juli 2015

Kobar Api Sapardi


Ayat-ayat Api : Kumpulan Sajak

Sapardi Djoko Damono
Pustaka Firdaus, 2000
158 hlm.











Menurut kata pengantar dari Pak Sapardi Djoko Damono, buku ini berisi sajak-sajak dari dirinya yang ditulis dari tahun 1984 hingga 1999. Beberapa sudah pernah dimuat, beberapa pernah terbit terbatas, dan yang lainnya belum pernah muncul dalam buku.

Waktu pertama saya baca buku ini, sekitar berabad-abad lalu, saya gak pernah mengerti, apalagi tertarik sama isi-isinya. Mungkin karena saya memang jarang masuk area dunia puisi, dan juga karena waktu itu kepala saya masih terlalu panas buat mencoba mengerti 'api' yang ada dalam sajak Pak Sapardi ini.

Sekarang buku itu muncul lagi di tangan saya--tidak tahu kenapa, padahal yang saya cari buku lain. Setelah memutuskan untuk mencoba lagi, hasilnya malah mengejutkan. Puisi-puisi ini membawa saya ke area yang jauh berbeda, bahkan juga berbeda dari Hujan Bulan Juni--buku puisi pak Sapardi yang (saya kira) pertama saya baca (dan cintai).

Tapi anehnya, dari beberapa review lain soal buku ini, interpretasi saya malah jauh berbeda. Memang jelas terlihat Pak Sapardi berbicara tentang masalah sosial dan politik di era 90-an dalam beberapa sajaknya, tapi justru dari mayoritas yang lain saya menganggap Pak SDD banyak berbicara tentang kehidupan itu sendiri, tentang tumbuh dari tiada, hidup, dan menuju kembali ke sang Pencipta itu lagi. Seperti dalam potongan sajak utamanya, Ayat-ayat Api /9/:


api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya ia tak bisa
menjadi fosil

api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya kita luluh lantak
dalam kobarannya


Tema umum tentang kehidupan dalam kumpulan sajak ini masih dengan gaya SDD tentunya, yang meski berbicara tentang dirinya, namun tetap tidak terasa self-centered, mungkin karena khas SDD--dengan kekocakan tersembunyi seperti di sajak Pada Suatu Maghrib:

Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini,
hari hampir maghrib, hujan membuat segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,
astaghfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip

Mungkin pikiran ini juga muncul karena saya terpengaruh oleh Pak SDD sendiri, yang bilang kalau buku ini diterbitkan sekaligus untuk menandai umurnya yang sudah memasuki dekade keenam. Entahlah, itu yang saya lihat dan saya maknai tentang api kumpulan sajak ini. Saya amatir kalau masalah puisi dan sastra, tapi.. apakah benar ada kata 'salah' dalam urusan interpretasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar