Senin, 31 Agustus 2015

Perang (dengan) Pribadi


Beberapa tahun yang lalu, pada saat awal permulaan tahun baru, saya pernah 'iseng' bikin proyek membaca, untuk saya sendiri.

Itu adalah proyek membaca yang pertama kali saya buat, karena beberapa kebetulan sebenarnya.  Kebetulan karena saya baru sadar betapa banyaknya buku klasik yang belum sempat saya baca. Kebetulan karena saya baru menemukan gudang e-book gratis tersebut di feedbooks. Dan kebetulan juga karena saat itu saya butuh pelarian dari skripsi... :p

Maka dimulailah proyek membaca buku klasik. Tahun itu akan menjadi tahun dimana saya akan menyelesaikan membaca seluruh karya literatur klasik itu. Tahun dimana saya jatuh cinta pada Oscar Wilde, memutuskan bahwa Jane Eyre adalah cewek yang lebih hebat daripada Elizabeth Bennet, dan tahu bahwa ternyata banyak karya klasik yang sebenarnya biasa saja.

Tapi saya tidak pernah cocok dengan peraturan. Dan sungguh, gratis atau tidak gratis, membaca e-book itu bikin mata lebih cepat capek daripada buku biasa. Di akhir tahun, dari sekian ratus buku klasik yang jadi target, mungkin tidak sampai setengahnya yang berhasil saya selesaikan.

Awalnya saya merasa sedikit kesal dengan diri saya sendiri karena gagal memenuhi target tersebut, tapi akhirnya saya merasa kesal justru karena membuat target tersebut.

Saya membaca karya-karya klasik tersebut hanya karena ingin menyelesaikan proyek saja, bukan karena benar-benar ingin membaca. Sedih rasanya ketika saya sadar bahwa dari ratusan buku klasik itu, hanya sedikit yang benar-benar saya ingat (dan nikmati) isinya.

Proyek bodoh itu membuat saya membaca, dan membaca, lalu cepat-cepat menyelesaikan membaca supaya bisa segera membaca buku berikutnya. Seperti tugas sekolah saja.

Daftar unfinished classics itu memang masih mengganggu saya. Tapi saya tidak berminat untuk meneruskan proyek membaca itu, ataupun membuat yang baru. Toh tidak akan ada polisi yang menangkap saya kalau buku-buku itu belum selesai saya baca.

Seperti biasa, hanya gengsi dan kesombongan saya saja yang selalu berisik. Ini menyebalkan.

Saya tidak ingat (dan tidak ingin) punya alasan membaca hanya karena untuk membuat daftar tebal, memberi kesan baik, atau mengalahkan orang lain. Itu sungguh menyedihkan.

Saya suka membaca karena saya suka membaca. Titik.
Kalau memang ada hal-hal baru yang saya temukan pada saat membaca, ya untung. 
Kalau tidak, ya sudah.

Yah, ini peraturan yang saya coba buat, dan tidak tahu, apakah ke depannya akan membuat saya kembali tergoda untuk melanggarnya.

ahahah.

Kamis, 20 Agustus 2015

Haki Odacchi -- Wanted! | Review!

Wanted! adalah kumpulan cerita pendek (one shot) yang merupakan debut dari Oda Eiichiro alias Odacchi. Buku ini sendiri sebenarnya sudah ada dari tahun 1998, tapi baru tahun ini akhirnya Elex Media Komputindo berbaik hati untuk terjemahkan dan terbitkan.

Ada beberapa cerita yang ada dalam manga ini, idenya bermacam-macam, tapi hampir semuanya berjenis action, drama, dan adventure. Dan buat para penggemar One Piece, judul Romance Dawn pasti sudah tidak asing lagi. Yep, cerita yang bakal jadi pondasi dunia bajak laut paling terkenal dalam sejarah komik juga ada di sini.

Tapi, saya yang tidak tahu apa-apa tentang teknik menggambar bisa bilang kalau artwork Odacchi di sini masih kasar, seperti belum 'pede' benar. Kelihatan sangat jelas pengaruh Akira Toriyama di cerita-cerita di sini, mangaka yang memang Odacchi sendiri akui adalah inspirasi terbesarnya.

Meski ide ceritanya termasuk orisinil, tapi plot dan comedic timing-nya masih lemah. Tapi karena ini adalah cerita-cerita yang dibikin Odacchi pada waktu muda, jadi harap maklum saja kalau kualitasnya belum bisa menyamai One Piece yang sekarang.

Yang paling menarik sebenarnya, bagi saya pribadi paling tidak, bukan ceritanya; tapi kisah di balik pembuatan dari cerita-cerita debut ini. Curhat Odacchi-sensei bikin saya jadi makin kagum dengan semangatnya buat jadi mangaka. Dari mulai mengejar deadline sesaat setelah jadi korban kecelakaan lalu lintas, keluar dari pekerjaan part time, sampai mantap memutuskan untuk berhenti jadi asisten Nobuhiro Watsuki (pengarang Rurouni Kenshin) dan memulai serial ceritanya sendiri.


Saya jadi mengerti kenapa karakter-karakter Odacchi--terutama di buku ini--selalu punya jiwa petarung yang sungguh fokus. Entah itu Gill Bastar si penembak profesional, Bran si pencopet, atau Ryuma si ronin kelaparan. Jangan-jangan ini dasar awal dari konsep Haki di dunia One Piece?
;)

N.B: Ngomong-ngomong soal konsep awal One Piece, Wanted! juga bikin saya senang karena bisa  jadi bisa iseng nebak-nebak yang mana mungkin adalah calon desain karakter buat One Piece, dari mulai Luffy, Zorro, Vivi, Dracule Mihawk, sampai mayat yang mengambil bayangan Brook.

Jumat, 14 Agustus 2015

ライトノベル? Light novel? Novel ringan?

Kino no Tabi (Keiichi Sigsawa, Kouhaku Kuroboshi)


Istilah light novel (ライトノベル : raito noberu) tidak akan kamu temukan di kamus bahasa Inggris manapun juga. Ini hanyalah sebuah istilah yang diciptakan di dunia perbukuan di negara Jepang.

Light novel (LN) atau ranobe tidak banyak berbeda dengan buku biasa, namun ada beberapa karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas dari genre ini. Light novel, sesuai dengan artinya, biasanya hanya terdiri dari 30.000 - 50.000 kata, atau sekitar 100 - 200 halaman.

Yang menjadi ciri utama adalah isi light novel selalu ditemani dengan ilustrasi, tapi tidak sampai penuh seperti manga (komik Jepang), dan tidak juga terlalu sedikit sampai seperti buku novel lainnya. Light novel juga bisa hadir dalam serial, seperti Baccano! (Ryōgo Narita, Katsumi Enami) yang sudah berlanjut hingga 21 volume dan masih berlanjut hingga sekarang.

Penulis dan ilustrator dari light novel biasanya orang yang berbeda, meski kadang ada juga penulis yang melakukan ilustrasinya sendiri. Jika light novel ini adalah adaptasi dari sebuah serial manga/anime, maka kemungkinan akan lebih banyak lagi pihak yang dilibatkan.

Light novel pada awalnya ditargetkan khusus untuk anak-anak sampai remaja awal, tapi jangan kira ceritanya selalu simpel seperti buku dongeng bergambar..

Rating dari light novel, seperti halnya manga, juga sangat bervariasi. Light novel bisa berisi drama petualangan biasa, science fiction dan komedi seperti pada serial .hack, tapi juga bisa penuh dengan kekerasan dan dark comedy, atau filosofi hidup, yang ditargetkan lebih untuk orang dewasa seperti Kino no Tabi, All You Need Is Kill (Hiroshi Sakurazaka, Yoshitoshi ABe), atau Attack on Titan: Before The Fall (Ryō Suzukaze, Thores Shibamoto).

Keterkaitan antara dunia manga/anime dan light novel sangatlah erat. Sebuah light novel bisa merupakan adaptasi dari anime/manga terkenal, seperti Death Note atau Rurouni Kenshin; dan tidak jarang juga vice versa.

Beberapa tahun terakhir ini, kepopuleran light novel tampaknya semakin meningkat, tidak hanya di Jepang, namun juga negara-negara dimana potensi pasar anime dan manga sangat tinggi, termasuk Indonesia. Light novel--yang merupakan bentuk evolusi dari pulp magazine--mulanya dijual dengan harga yang murah. Namun dengan munculnya judul terkenal seperti serial Haruhi Suzumiya (Nagaru Tanigawa, Noizi Ito)--yang cetakan pertamanya untuk volume 10 dan 11 saja sudah melampaui 500.000 buah--'kelas' light novel tampaknya semakin meningkat, demikian pula harganya.

Di Indonesia, sekitar tahun 2000-an awal, penerbit Elex Media Komputindo pernah memunculkan beberapa judul terjemahan light novel, seperti God Family karya Sayangnya genre ini tidak begitu laris di pasaran kala itu.

Tetapi, makin ramainya buku-buku remaja sekarang ini, dan juga meningkatnya permintaan akan light novel, tampaknya potensi bentuk literatur ini sungguh sangat bisa dipertimbangkan kembali.

Ada beberapa alasan.

Ranobe bukan hanya bentuk genre literatur lain. Dengan makin ramainya kebiasaan adaptasi, light novel bisa menjadi bahan pelengkap detil kisah, seperti Baccano! yang ramai dengan plot twist dan puluhan karakter berbeda. Atau bisa juga menjadi bahan perbandingan, seperti All You Need Is Kill, yang ceritanya telah dirubah sedemikian rupa oleh Hollywood menjadi film Edge of Tomorrow. Untuk merek populer seperti Death Note, Inuyasha, Naruto, atau Attack on Titan, 'kesetiaan' para fans untuk mengkoleksi berbagai cerita dalam dunia fiksi favoritnya bisa menjadi lahan menjanjikan bagi para penerbit besar maupun kecil.

Light novel Attack on Titan: Before The Fall yang barusan dirilis tampaknya laku berat di pasaran, dan ada juga beberapa bisikan tentang akan segera rilisnya LN Naruto - Kakashi Hidden Legend: Lightning of The Frozen Sky, dan Absolute Duo beberapa bulan mendatang.

Meski demikian, ramainya animo light novel ini mengingatkan saya akan beberapa tahun yang lalu, ketika berbagai judul manga untuk berbagai umur semakin laris. Jika penerbit hanya memperhatikan potensi pasar saja, dan tidak memperhatikan dengan baik rating dan isi cerita sebenarnya, kasus beberapa tahun lalu seperti komik 'porno', penerbit tanpa lisensi, dan protes serta sterotip yang salah dari masyarakat--bisa muncul kembali. Bahkan mungkin lebih parah.

Dan kalau sudah begini yaa... klasik.
Tanggung jawab bukan hanya di penerbit dan toko buku saja loh. Orang tua jangan ketinggalan jaman, dan juga harus selalu sadar benar, ilustrasi 'imut' yang ada di sampul buku bukan selalu berarti ceritanya juga untuk anak-anak imut..

Selasa, 11 Agustus 2015

Gagal Ajaib

Ini cerita ajaib yang sayangnya gagal terjadi. Semuanya bermula dari tanda tangan di sebuah buku bekas...

Yang pernah tinggal, lewat, mendengar atau membaca tentang kota Medan pasti tahu tentang Titi Gantung. Jembatan khas yang letaknya dekat stasiun kereta api, selain terkenal karena umurnya yang sudah 130 tahun lebih, juga karena Titi Gantung adalah 'surga' bagi para pemburu buku-buku bekas dan langka.

Ketika keluarga saya masih tinggal di Medan dan lama sebelum masa penggusuran para pedagang buku, tempat ini adalah salah satu tempat favorit ayah saya. Banyak 'harta' yang ditemukan di tempat ini, dan tentu saja, saya yang lagi girang-girangnya membaca juga turut kebagian harta-harta ini.

Salah satunya adalah buku dongeng klasik terbitan Gramedia tahun 1985 berjudul Burung Emas dan Cerita-cerita Lainnya (L'Oiseau D'or et Autres Contes)

Buku kumpulan dongeng ini kemudian menjadi salah buku favorit saya. Karena bukan hanya ceritanya yang berbeda dengan dongeng 'anak-anak' lainnya, ilustrasinya juga sangat indah, karya dari ilustrator terkenal Adrienne Segùr.



Bertahun-tahun kemudian, buku itu masih saya simpan aman di rak buku kamar saya. Suatu pagi, setelah lama tak disentuh, saya iseng membuka buku itu kembali. Halaman pertama, terlihat sebuah tanda tangan, mungkin pemilik awal dari buku bekas ini.

Cecilia.

Saya punya teman bernama Cecilia. Bertemu saat kuliah, dia dari Jakarta.

Ahahah, yang benar saja..

Tapi karena bosan, saya coba memperhatikan tanda tangan itu lagi, teringat bahwa teman saya juga barusan mengirimkan sebuah kartu pos.

Ternyata...

yang kiri adalah dari buku (sengaja tidak semuanya ditampilkan..)


Kemiripan ini terlalu dekat.

Tapi sebentar--identitas orang dewasa saya mencoba membawa logika--Cecilia bukan nama yang tidak umum, dan tanda tangannya cukup sederhana.

Kemiripan ini terlalu dekat..

Yang benar saja, dua anak di kota berjarak ribuan kilometer, dan dalam jangka waktu 15 tahun?

Kemiripan ini terlalu dekat!!

Identitas orang dewasa saya kalah oleh jiwa impulsif saya yang sangat tidak percaya kebetulan. (dan mungkin juga jiwa saya yang lagi sangat bosan)

Ini mungkin hanya kemungkinan, tapi kalau kemungkinan itu adalah sebuah kemungkinan akan sebuah keajaiban, tentu harus dikejar!

Saya kemudian menghubungi teman saya itu, bertanya apakah saat kecil dia pernah punya buku dongeng berjudul Burung Emas.

Dan jawabannya adalah...

Tidak pernah.

(pada titik ini, identitas orang dewasa saya tertawa terbahak-bahak.)

Kemungkinan akan adanya sebuah keajaiban: gagal.
------------

ah, bien.. c'est la vie.

Sayang sekali memang, dan bohong kalau saya bilang saya tidak kecewa (lebih kecewa karena harus bosan kembali).

Tapi sungguh, saya tidak sedih. Meski sebuah cerita tentang keajaiban dari sebuah buku dongeng klasik akhirnya gagal, tapi saya rasa saya tidak kehilangan apapun.

Ketika saya membandingkan kedua tanda tangan itu, keterkejutan itu sempat membuat napas saya berhenti. Dan kemungkinan akan sebuah keajaiban itu, sempat membuat otak saya menciptakan probabilitas-probabilitas, rencana-rencana, strategi-strategi, logika-logika. Kejadian itu juga menghasilkan sebuah tawa, dan sebuah rasa dimana dunia saya seakan bertambah luas.

Mungkin hanya sepersekian detik hal ini terjadi, tapi waktu adalah relatif, dan sepersekian detik akan sebuah kemungkinan keajaiban ini saya rasa sudah cukup untuk mengobati gagalnya sebuah keajaiban tersebut.

Kamis, 06 Agustus 2015

Bukan Umurmu [Saga: Identitas Komik #2]

(Artikel ini merupakan bagian dari saga Identitas Komik)

Good grief!

 "wah, saya sih gak suka baca buku. Palingan komik.."

"udah gede kok baca komik terus."

Anggapan-anggapan ini membuat saya agak bingung sebenarnya. Apakah yang dianggap buruk adalah karena isi dari komiknya, atau semata-mata karena komik penuh dengan gambar..

Sindiran semacam ini juga semakin membuat saya yakin kalau bahkan sampai sekarang, komik masih diasosiasikan dengan anak kecil. Ada semacam harapan, atau mungkin generalisasi norma; kalau pintar adalah dengan membaca buku, dan buku adalah lembar-lembar tulisan yang dijilid--bukan panel-panel gambar.

Komik, alias buku bergambar, tidak akan membuat otak berkembang. Isinya terlalu gampang, bahkan akan membuat otak rusak. Sebuah mitos yang tidak pernah terbukti dengan jelas sampai sekarang.

Komik sama saja seperti buku lain, 'nasib' dari isi seluruhnya ada di tangan sang pengarang. Hanya kemampuan sang pengarang sendiri--dalam meletakkan panel gambar dan kalimat sesuai timing, yang kemudian bisa menentukan apakah komik tersebut kemudian berhasil menyampaikan apa yang ada dalam hati dan pikiran sang pengarang.

Untuk alasan tentang isi komik, saya bisa kasih argumen yang jelas untuk itu. Tidak semua komik adalah cerita untuk anak-anak. Ini fakta yang sebenarnya sudah lama ada, namun (karena banyak faktor) tidak terlalu dipedulikan di masyarakat.

Meski tidak ada hal perihal seperti kekerasan atau nudity yang perlu dikhawatirkan, cerita dari beberapa komik terkadang terlalu 'kelam', atau simpel saja, kemungkinan besar tidak akan menarik untuk umur belia. Misalnya komik slice-of-life seperti Solanin (Inio Asano), komik filsafat seperti Epileptik (David B.), komik tante-tante seperti Kimi wa Petto (Yayoi Ogawa), atau komik--yang meski setting-nya luar angkasa di masa depan, tapi njelimet macam Planetes (Makoto Yukimura).

Biarpun tokohnya sendiri adalah anak-anak atau makhluk antropomorfik yang 'imut', cerita seperti Mafalda (Quino), Dommel/Cubitus (Dupa), atau serial Peanuts dari Charles M. Schultz juga bisa penuh dengan sindiran satir pada sejarah, politik, dan budaya. Dan biar bentuknya adalah komik strip, jangan kira ekspresi mereka sungguh gamblang dan sederhana.

Ketika saya kuliah, seringkali dosen saya menggunakan kutipan dari komik strip Peanuts sebagai bahan diskusi di kelas, baik itu di kelas ilmu politik, sejarah, atau filsafat. 'Pelajaran hidup', jujur saya katakan, lebih banyak saya dapat dari komik seperti Planetes, Alien Street, Peanuts, Aria, atau Yotsuba&!

Jadi, apakah saya terlalu tua untuk baca komik?